Kamis, 23 Juli 2009

KONFLIK PAPUA DAN AKAR PERSOALANNYA

A. Konflik Papua

Eskalasi separatisme akhir-akhir ini cukup tinggi terjadi di Papua.Hal itu terjadi sepanjang era Otsus yang seharusnya mencegah karena dengan limpahan trilyunan rupiah yang dikucurkan pemerintah Pusat, guna percepatan pembangunan dan kesejahteraan rakyat mampu meredam anasir separatisme. Namun semua ini seakan tidak mempan, bahkan sama sekali tidak sanggup meredam keinginan aspirasi merdeka (“M”) rakyat Papua. Terbukti diera Otsus dengan limpahan dana sekian banyak belum mampu meredam aksi separatisme.

Bahkan sebelum, menjelang dan sesudah pelaksanaan Pemilu Legislatif dan Pilpres tahun 2009, serangkaian aksi separatisme tetap, malah semakin tinggi eskalasinya terjadi disana. Perhatian kita pada akhirnya tersita menjadi dua antara menunggu hasil pengumuman pemenang Pilpres tahun 2009 oleh KPU dengan harapan terwujudnya pemerintahan yang demokratis disatu sisi dan pelanggarahan HAM disisi lain. Lantas bagaimana format ideal penyelesaian konflik separatisme Papua secara menyeluruh?

Sanngupkan pemerintahan SBY-Budiono, sebagaimana hasil quick count yang menempatkan mereka sebagai pemenang Pemilu 2009 yang terpilih secara langsung jujur adil dan demokratis akan sanggup meredam konflik berkepanjangan di Papua? Ataukah Pemerintahan SBY-Budiono tetap mempertahankan kebijakan seperti masa pemerintahan SBY-JK? Jika kebijakannya tetap sebagaimana sebelumnya seperti SBY-JK, maka aksi-aksi TPN/OPM eskalisinya akan lebih dasyat. Kemungkinan eskalasi resistensi masyarakat akan lebih besar dan tinggi. Berarti kita akan melihat serangkaian aksi lebih intens dan dasyat tapi juga terorganisir oleh anak-anak muda Papua, melampaui aksi saat ini. Serangkaian aksi pembunuhan misterius secara sadis pada malam tanggal 8 April 2009 Wamena menunjukkan ini, dan dilakukan satu hari sebelum pencoblosan -diduga keras dilakukan oleh kelompok garis keras dari sayap militer TPN/OPM.

Demikian juga serangkaian aksi secara berturut-turut menjelang Pemilu 2009 terjadi di ibukota Propinsi Papua. Misalnya pembakaran Kampus Uncen, penyerangan OPM di Kampung Slayar di AB Pante, insiden di Punjak Jaya, Bandar Udara Perintis Kasepo Memberamo dan sejumlah kasus sama tempat lain di Papua. Dan dalam minggu ini menjadi semakin gempar karena korban penembakan berwarga negara asing (Austaralia). Lalu selang sehari sudah terjadi lagi baku tembak di Yapen Waropen antara kelompok masyarakat bersenjata dan aparat militer yang menyerbu perkampungan masyarakat.

Intinya bahwa Otsus dengan banyak kucuran dan trilyunan rupiah tidak sanggup meredam konflik separatisme di Papua. Apalagi sepanjang pelaksanaan Pemilu tahun 2009 baik Pemilu Legislatif (PILEG) maupun Pemilu PILPRES Indonesia adalah saat paling aktif dirasakan bahwa tensi dan intentitas kegiatan separatisme Papua oleh TPN/OPM tinggi bahkan sampai saat masih terus berlangsung tanpa kita tahu kapan bisa berakhir.

Sejak Otsus diterima dengan syarat oleh Presedium Dewan Papua (PDP), maka banyak orang menduga bahwa persoalan Papua akan selesai dan separatisme bisa diredam. Tapi orang lupa bahwa seni dan budaya adalah menyangkut harkat dan martabat kemanusiaan manusia, dan itu bisa dimengerti oleh Presiden Gus-Dur yang tidak di pahami Presiden Megawati Soekarno Putri, apalagi lebih tidak dimengerti oleh aparat militer Indonesia di Papua. Dan memang ada sesuatu yang benar, jadi baik, dari Gus-Dur dianggap salah oleh Mega sehingga kelihatan kurang cerdas dan itu berlanjut masa pemerintahan SBY-JK terus dibiarkan, misalnya MRP di Pasung, simbol-simbol cultural yang di zaman Gus-Dur di bolehkan orang Papua memaikainya di zaman SBY-JK di anggap subversip sehingga ada pasal-pasal karet hukum terorisme, siap membungkam atau dengan alasan terorisme kapan saja aparat militer menangkap, menyiksa bahkan boleh memukul orang Papua sampai mati di penjara.

Demikian ketua PDP, Dortheys Hiyo Eluay, mengalami nasib buruk martir ditangan aparat militer Maribuana Angkatan Laut 10 Hamadi Jayapura Papua dan sopirnya sampai hari ini belum pernah diketahui ada dimana, hilang begitu saja tanpa jejak dan pesan kalau dimakamkan dimana dan oleh siapa kita semua tidak pernah tahu adalah warisan Presiden Megawati buruk bagi orang Papua. Tapi hal demikian dibiarkan terjadi sepanjang pemerintahan SBY-JK. Dan itu banyak dialami mahasiswa dan tokoh-tokoh HAM Papua. Demikian ini terus menyisakan luka mendalam bagi beberapa kalangan rakyat Papua.

Kebijakan pemerintah Indonesia terhadap rakyat Papua selain Gus-Dur, semuanya terkesan punya orientasi mengekang kebebasan ekspresi seni dan budaya orang Papua bahkan ada dugaan kuat yang sering dikemukakan kalangan intelektual Papua misalnya Pendeta Dr. Socrates Sofyan Nyoman, Dr. Phil Erari dan Dr. Benny Giay soal issu genosida. Mereka sering menyinggung bahwa ada upaya secara sistematis Indonesia melakukan proses genosida dan ecosida sekaligus yang sangat menyeramkan. Itu berarti membunuh habis rakyat Papua agar tidak lagi menuntut hak dan keadilan kedaulatannya. Jika demikian provokasinya para pemuka Papua selama ini, maka sudah barang tentu masalahnya bukan hanya hak bereksistensi didunia habitatnya saja tapi juga adalah menyakut harga diri bangsa Papua.

B. Otsus Papua

Harapan semua orang dengan Otsus Papua konflik bisa selesai, minimal menimalisir potensi-potensi konflik separatisme disana sebagaimana penyelesaian konflik sama di Nagri Aceh Darussalam (NAD). Demikian juga harapannya dengan Papua bahwa dengan Otsus, maka konflik separatisme sudah selesai dan bisa diselesaaikan hanya dengan mengucurkan banyak uang didaerah paling ujung Timur Indonesia itu, ternyata meleset, malah sebaliknya, intentitas kegiatan separatisme cukup tinggi dirasakan sepanjang pelaksanaan Pemilu tahun 2009 ini.

Otsus Papua dituangkan dalam UU No 21/2001, yang merupakan hasil proses pembahasan yang panjang di DPR, dan disepakati pemerintah. Namun sejumlah kalangan tidak percaya Otsus Papua dan itu terutama kalangan intelektual Papua yang berada di universitas. Apalagi bagi TPN/OPM di rimba raya Papua, Otsus Papua sama sekali tidak dianggap sebagai solusi. Jargon TPN/OPM sudah jelas, bagi mereka Papua Merdeka harga mati sebagaimana NKRI harga mati bagi TNI/POLRI. Dan harus diingat bahwa TPN/OPM di rimba raya tidak pernah dilibatkan dalam penerimaan Otsus Papua oleh pemerintah Pusat.

Sebelum ini hanya PDP saja yang menerima Otsus Papua tapi dengan dengan syarat, pelurusan sejarah dan tawaran dialog, yang kesemuanya itu tidak pernah ditaati pemerintah pusat.Karena itu wajar akibat kemudian sejumlah kalangan intelektual Papua yang berada di universiatas tidak percaya Otsus Papua. Mereka minta dialog antara Jakarta-Papua dan itu harus dimediasi oleh pihak lain sebagai penengah. Keinginan dialog secara gentelmant ini selalu ditolak Jakarta. Malah sebaliknya pemerintah Indonesia berkompromi dengan TPN/OPM buatan militer Indonesia yang berada di kota, walau harus diakui bahwa kelompok kompromistis, juga punya potensi menjadi TPN/OPM “benaran”, jika keinginan berkuasa tidak diperoleh apalagi tidak di jatah jabatan oleh pusat.

Semua aksi-aksi secara sporadis tapi terorganisir oleh TPN/OPM akhir-akhir ini menunjukkan separatisme disana tidak pernah bisa padam, sekalipun dengan banyak uang dialirkan oleh pusat kesana, terbukti Otsus Papua memang bukan solusi. Ada anggapan bahwa mentalitas orang Papua adalah mentaliltas konsumerisme yang berarti cukup diberi banyak uang agar diam dan kenyang. Untuk itu –dan memang sesuai dan wajar mengingat konrtibusi Papua cukup tinggi dalam membayar pajak negara, misalnya hanya menyebut satu, PT Freeport saja –pemerintah tidak secara serius atau tidak ada kemauan baik menutaskan konflik Papua secara konprehenshif sekaligus. Sebagai akibatnya bisa di tebak bahwa dana trilyunan yang dikucurkan pemerintah pusat tidak menghalangi perjuangan Merdeka rakyat Papua untuk berdaulat penuh, malah anasir-nasir separatisme tetap muncul kembali.

D. Akar Masalah

Papua Barat (sebelumnya, Irian Jaya), diintegrasikan dengan Indonesia melalui PEPERA tahun 1962 dan resmi disahkan oleh PBB tahun 1979. Namun jalan penyelesaian secara damai konflik berkepanjangan seakan tak pernah ada ujung. Sebab sepanjang masa integrasi selalu saja ada konflik dan itu menyebabkan banyak korban berjatuhan disatu pihak TPN/OPM vs TNI/POLRI dan dilain pihak rakyat Papua. Mengapa ini bisa terjadi? Karena pada dasarnya PEPERA tahun 1962, sesungguhnya hanya rekayasa antara Soekarno dan John F Kennedy. Sebab Presiden pertama RI itu pada masa perang dingin antara Blok Barat (AS) dan Blok Timur (Unisoviet), mau mengarahkan Indonesia condong ke Blok Timur. Karena itu wajar kalau kemudian Amerika khawatir pada sikap politik Soekarno itu, maka tawarannya adalah Papua harus “dititipkan” dulu untuk di kontrol oleh Soekarno dengan syarat sewaktu-waktu Papua menentukan nasibnya sendiri kelak di kemudian hari.

Namun proses waktu dan pergantian Presiden RI dari Soekarno kepada Soeharto persoalan Papua menjadi kabur, di tambah lagi dengan adanya kontrak karya PT Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc, sudah lebih dulu masuk- persetujuan izin penambangan ditandatangani pada tahun 1967 -sebelum status Papua resmi masuk Indonesia di dewan PBB tahun 1979. Rakyat Papua selama 45 tahun integrasi (bagi rakyat Papua, aneksasi) dibungkam habis. Tidak boleh ada yang bicara lain selain persoalan Papua dianggap selesai final bagian tak terpisahkan dari Indonesia.

Namun pasca kejatuhan Presiden Soeharto pada bulan Mei 1998 dan bergulirnya era reformasi, seiring pula dengan adanya jaminan kebebasan berbicara, maka rakyat Papua yang dibungkam lama mulai buka mulut dan berbicara menuntut memisahkan diri dari Indonesia, diawali dengan dialog 100 tokoh Papua dengan Presiden BJ. Habibi pada tanggl 26 Februari 1999 dan puncaknya Kongres Papua ke II, yang didanai 1 Milyar oleh Presiden Gus-Dur sendiri. Kongres ini diadakan di Jayapura, tgl. 29 Mei s/d 4 Juni 2000, dan dihadiri ribuan orang diantaranya 501 peserta yang mempunyai hak suara. Kongres meminta perhatian atas empat kenyataan de facto:

1. bahwa pada tahun 1961 Bangsa Papua sudah diberikan kedaulatan;

2. bahwa Bangsa Papua tidak terwakili sewaktu New York Agreement ditetapkan pada tahun 1962;

3. bahwa Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat) tahun 1969 bercacat hukum dan dilaksanakan disertai intimidasi dan penindasan;

4. bahwa ada sejarah pelanggaran HAM selama 38 tahun terakhir ini yang tidak pernah ditangani secara hukum.

dan itu mulai terkuak belakangan bahwa kenyataannya memang persoalan Papua tidak habis selesai sampai disitu, seperti bahasa pejabat sebelum ini dengan mengatakan: “Papua telah kembali kepangkuan Ibu Pertiwi (Indonesia)”, sehingga seakan persoalan Papua aman damai.

Namun kenyataannya sekarang bahwa diera Otonomi khusus dengan banyak uang mengalir ke Papua belum mampu meredam keinginan rakyat Papua mau merdeka. Sdan saat ini kita menyaksikan bahwa persoalan Papua belum selesai, sebagaimana dugaan dan harapan semua orang. Mengapa itu bisa terjadi? Karena proses integrasi Papua kedalam NKRI penuh rekayasa kepentingan Amerika dan Indonesia, sehingga dengan sendirinya bagi orang Papua integrasi hanyalah aneksasi paksa dan karenanya cacat hukum. Maka sepenuhnya bagi kebanyakan orang Papua, PEPERA yang konon katanya tanpa memenuhi mekanisme, one man one vote (satu orang satu suara) adalah essensi permasalahan dari konflik selama ini.

Karena itu solusi penyelesaian kasus Papua belum pernah sanggup ditemukan titik temunya oleh kedua bela pihak berkonflik. Dari sinilah pada mulanya konflik terus berkepanjangan yang berketerusan sehingga melahirkan banyak korban di pihak rakyat Papua. Banyak pemuka Papua merasa, dan itu akhir-akhir ini, ada upaya lain Indonesia (mungkin lebih tepat mereka maksudkan Militer Indonesia) proses genosida (punahisasi) etnis Papua baik itu secara terselubung (HIV/AIDS, melalui alcohol, KB, Otsus Papua dll) maupun konfrontasi bersenjata secara berhadap-hadapan antara rakyat yang mempersenjatai diri dengan senjata tradisional dengan senjata organic di pihak militer Indonesia.(Lihat misalnya buku yang ditulis oleh Sendius Wonda, Tenggelamnya Ras Melanesia, Penerbit : Deiyei, Jogja, 2008)

Indonesia dengan stigma seperatisme selama ini kita tahu, memang banyak mengirim ribuan aparat keamanan bersenjata untuk menjaga kedaulatan dan keutuhan wilayah NKRI. Di Papua nun jauh sana banyak didatangkan berbagai kompi TNI/POLRI organic dan non organic. Konflik rakyat bersenjata dipihak pejuang kemerdekaan TPN/OPM di ujung timur Indonesia itu selalu saja ada darah, dan air mata tanpa pernah kita tahu kapan bisa selesai. Namun akhir-akhir ini agaknya Aceh pulih secara berangsur pasca perjanjian Helskiny.

Tidak demikian dengan Papua, konflik TNI/POLRI disatu pihak dan TPN/OPM dilain pihak secara berhadap-hadapan adalah konflik paling primer sesungguhnya, dari semua rangkaian konflik sekunder lainnya yang ada di Papua Barat dan Aceh Dan konflik seperti ini untuk Papua seakan kekal abadi, tanpa pernah ada usainya. Sebab selalu saja ada dan itu terus menerus akan ada walau ada Otsus Papua, tidak sebagaimana Nagri Aceh Darussalam (NAD). Aceh sejak perjanjian Helsinky, Swiss, Eropa, para tokoh GAM bisa menerima hasil kesepakatan damai. Dan genjatan senjata kedua bela pihak menunjukkan eskalasi konflik secara drastis menurun disana.

Hal demikian seakan sama sekali tidak pernah bisa tercipta di Papua. Disini kita tidak menemukan adanya perdamaian di meja perundingan antara rakyat Papua dan Indonesia melalui pintu dialog. Malah yang terjadi selama ini yang kita amati adalah monolog (antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, berdialog sendiri) bukan dialog seharusnya anatara TPN/OPM dan Jakarta. Bahkan pusat terkesan menghindari untuk tidak dikatakan “takut”, akhirnya memang tidak pernah terjadi dialog. Yang terjadi selama ini hanya pertemuan elit belaka yang dilakukan dengan kelompok yang mengaku separatis (pejuang) Papua.

Padahal yang harus diajak berkompromi itu bukan dengan Pemda dan juga bukan dengan kelompok separatis buatan TNI/POLRI di kota tapi seharusnya dengan TPN/OPM Sebab yang bertikai secara militer di Papua dengan TNI/POLRI bukan dengan Pemda atau PDP dan DAP dan LSM sejenisnya. Tapi anehnya selama ini perundingan elit Papua-Jakarta tidak pernah melibatkan kelompok ini.

Karena itu wajar akibatnya konflik tertus-menerus. Dan itu terbukti di era Otsus yang pada mulanya diduga dapat meredam potensi konflik separatis, nyatanya itu semua terbantahkan oleh aksi-aksi separatisme yang dilakukan oleh rakyat Papua dan itu puncaknya, pemalangan lapangan terbang di Mamberamo raya, pembunuhan misterius di kota Wamena, pembakaran Kampus Uncen, penyerangan Pos Militer di Punjak Jaya, penyerangan rumah Bupati Tolikara, penyerangan Polsek Abepura, penyerangan kampong Slayer Abe Pantai dll.

Eskalasi separatisme di Papua cukup tinggi dengan serangkaian aksi-aksi secara sporadis oleh TPN/OPM akhir-akhir ini menunjukkan separatisme disana tidak pernah bisa padam, sekalipun dengan banyak uang mengalir kesana oleh pusat. Otsus Papua yang berarti banyak uang dikucurkan pemerintah pusat tidak menghalangi perjuangan Papua merdeka rakyat Papua untuk berdaulat penuh, malah anasir-nasir separatisme tetap muncul kembali.

Namun di Aceh konflik bersenjata selama ini yang kita kenal banyak membawa korban kedua bela pihak bertikai (TNI/POLRI-GAM) selesai. Diera Otsus NAD, apalagi tuntutan utama mereka selama ini yakni pelaksanaan syari’at islam sudah berjalan baik disana, membenarkan asumsi orang bahwa konflik secara militer kedua bela-pihak sudah selesai untuk sementara saat ini atau tetap akan muncul kembali? Kita tidak tahu!

Otsus Papua demikian sama halnya dengan Aceh diterima dengan syarat oleh PDP. Karena Otsus Papua katanya sebagai hasil kompromi dan itu dianggap oleh kedua belapihak yang berbeda ideologi itu sebagai jalan tengah dari kebuntuan. Ternyata dugaan itu terbantahkan sendiri oleh banyak fakta sepanjang Otsus berjalan terutama tahun 2008-2009 ini dimana-mana muncul aksi-aksi separatis di sejumlah lokasi wilayah Papua sebagaimana disebut diatas.

Mengapa itu bisa terjadi? Bukankah dengan Otsus orang Papua sudah menerimanya? Harus diingat bahwa Jakarta tidak pernah berkompromi soal itu (Otsus Papua) dengan TPN/OPM tapi dengan PDP (Presidium Dewan Papua). Akibatnya sudah pasti konflik tiada henti-hentinya. Kecuali selama ini kita dengar bahwa Jakarta berkompromi dengan OPM kota buatan militer Indonesia. Kita belum pernah saksikan bahwa sejauh ini pemerintah Indonesia pernah melibatkan TPN/OPM di kepulauan Fasipik dan dan TPN/OPM di rimba raya Papua. Akhirnya yang dilibatkan dalam penyelesaian persoalan konflik di Papua, bukan dengan TPN/OPM sesungguhnya tapi TPN/OPM boneka buatan Militer Indonesia. Hasilnya sudah bisa ditebak bahwa sampai saat ini letupan-letupan kontak senjata kedua bela pihak terus terjadi di era Otsus tanpa sanggup dihentikan oleh siapapun.

E. OPM : Otsus Bukan Solusi

Otsus Papua sebagai hasil kompromi antara Jakarta dan PDP bagi TPN/OPM di rimba raya Papua sama sekali tidak dianggap sebagai jalan penyelesaian soal Papua. Otsus Papua oleh OPM di Pasifik dan TPN/OPM rimba raya Papua dianggap illegal/tidak sah. Sebab tidak ada ijab-qobul dalam akad perjanjian kedua belah pihak bertikai. Serah terima akad Otsus Papua bukan dengan TPN/OPM yang selama ini dikenal bersenjata di rimba raya dan sebagai gerakan resmi separatisme Papua. Sebagai akibatnya tentu hasil yang didapatkan berbeda dari yang diduga atau malah yang diinginkan pihak yang berkepentingan dari kompromi itu. Apalagi kompromi jalan tengah itu selama ini tidak pernah melibatkan secara penuh kelompok TPN/OPM sesungguhnya yang berkeliaran di negara-negara kepulauan Pasifik.

Selama ini hanya oleh PDP yang menerima Otsus dengan syarat, tapi sejumlah kalangan intelektual Papua yang berada di universiatas tidak menerima Otsus Papua. Mereka meminta dialog antara Jakarta-Papua dan itu harus dimediasi oleh pihak lain sebagai penengah. Keinginan dialog secara gentelmant ini selalu ditolak Jakarta Malah sebaliknya pemerintah Indonesia berkompromi dengan TPN/OPM buatan militer Indonesia yang berada di kota, walau harus diakui bahwa kelompok kompromistis itu, juga punya potensi menjadi TPN/OPM “benaran”, jika keinginan berkuasa tidak diperoleh apalagi tidak di jatah jabatan oleh pusat.

Akibat semuanya itu TPN/OPM saat ini tetap eksis di rimba raya Papua dalam aktivitas gerilya dan selalu akan mengganggu aktifitas pembangunan Papua oleh pemerintah Indonesia selama ini dalam kompromi mencari solusi soal Papua tidak pernah melibatkan mereka Karena bagi mereka selama ini Pemerintah Indonesia melibatkan kelompok lain dikota bukan langsung dengan dirinya (TPN/OPM) dalam penyelesaian konflik berkepanjangan di Papua.

Oleh sebab itu wajar akibatnya anasir-anasir separatisme belum pernah benar-benar padam secara tuntas dengan secara sebenarnya, sebagaimana di Aceh dengan perjanjian melibatkan kelompok GAM sungguhan akhirnya letupan kontak senjata kini tak terdengar lagi Bentrokan antara TNI/POLRI versus GAM dalam soal sama dibelahan ujung barat Indonesia itu (Nagri Aceh Darussalam) sudah dikatakan aman damai. Bahkan Gubernur NAD saat ini adalah Irwandi Yusuf, mantan Panglima GAM.

Kenyataan lain kita alami saat ini di Papua, betapapun Otsus Papua dapat dianggap meredam anasir separatisme tapi kenyataan sesungguhnya Otsus punya potensi menimalisir bukan jalan tengah, apalagi sama sekali bukan solusi final seperti didugaa banyak orang dari awal. Sebab sejauh ini dan itu tetap akan demikian nanti untuk selamanya, jika penyelesaian konflik TNI/POLRI versus TPN/OPM tidak pernah melibatkan kelompok separatisme sesungguhnya yakni TPN/OPM.

Selama ini yang duduk berunding hanya dengan beberapa orang kelompok pro Jakarta padahal banyak tokoh intelektual Papua tidak ikut-ikutan rebutan jabatan Otsus tapi tetap eksis mempertahankan idealisme mereka di kampus-kampus. Mereka ini masih konsisten dengan prinsip mereka, no comromi! Bahwa bagi mereka penyelesaian kasus Papua solusinya adalah pelurusan sejarah, penegakan hukum, Ham dan demokrasi, baru benar ada perundingan perjanjian perdamaian menuju "Papua Zona Damai". Kalau tidak, bicara soal 'perundingan' elit Papua dan pusat, hanya omong kosong.

Kecuali hanya menimalisir anasir-anasir separatisme potensial kaum intelektual dan OPM kota buatan militer Indonesia, bagi TPN/OPM dalam garis perjuangannya jelas, kemerdekaan dan kedaulatan penuh wilayah Papua dari aneksasi Indonesia . Maka selama tuntutan mereka belum dipenuhi Indonesia sepanjang itu jalan itu yang akan mereka ditempuh. TPN/OPM tetap bersama rakyat Papua. Selama ini Jakarta berkompromi dengan kelompok LSM, pekerja sosial, kelompok peduli lingkungan bukan dengan TPN/OPM sesungguhnya yang ada dirimba raya Papua. Kelompok disebut terakhir ini entah oleh karena apa tidak pernah dilibatkan. Pertemuan kalau itu diadakan untuk penyelesaian kasus Papua TPN/OPM tidak pernah secara sanggup tersentuh dan terjangkau oleh militer apalagi pusat. Karena keberadaan meraka terpencar tidak hanya di satu titik wilayah Papua tapi semua sudut dan belahan lain di Fasifik.

Karena itu wajar perundingan elit Papua-Jakarta tanpa melibatkan mereka (TPN/OPM) dan tanpa kesadaran dialog sepanjang pelanggaran Ham, keadilan ekonomi, tidak ditegakkan maka selama itu pula perjuangan kemerdekaan tetap eksis Bagi mereka selain dialog antara Papua-Jakarta yang di mediasi pihak internasional belum dipenuhi pusat, sepanjang itu pula TPN/OPM, mahsiswa dan rakyat Papua selalu menyuarakan dan akan meneriakkan yel-yel perjuangan dengan mengangkat issu-issu relevant. Genosida! Jawanisasi! Islamisasi! Pelanggaran HAM! Demokrasi! Dan seterusanya.

Mahasiswa Papua dibelakangnya rakyat Papua dan TPN/OPM selalu mengeluarkan suara-suara sumbang itikad baik pemerintah Indonesia akan Otsus Papua dengan nada-nada misalanya Otsus gagal! Genosida! Islamisasi! Jawanisasi! Dan lain lain adalah sejumlah issu penting bagi mereka dan sepanjang penegakan Ham, keadilan ekonomi, sepanjang itupula eksistensi TPN/OPM tetap eksis dan letupan-letupan secara sporadic maupun terorganisasi akan terus muncul ditanah Papua.


Tidak ada komentar: