Selasa, 18 Agustus 2009

WAWANCARA DENGAN YULIANAUS KUAIYO


Pendidikan sangat fundamental bagi suatu bangsa karena maju tidaknya suatu bangsa diukur dari pendidikan. Papua selama ini identik dengan keterbelakangan, kemiskinan dan ketidakberdayaan dalam hal Sumber Daya Manusia (SMD). Nah sejauh ini menurut Andakah usaha kemajuan pendidikan bagi rakyat Papua oleh Pemerintah?




Sebetulnya kalau saya melihat dari sisi kebijakan ada. Itu dari sisi seberapa banyak dana yang dikucurkan selama ini, maka banyak sumber yang larinya ke Papua. Selain dari dana pendidikan yang dikhususkan dari dana Otsus.  Ada dana alokasi khusus (DAU) untuk tingkat SD, lalu ada dana BOS dan operasional sekolah untuk tingkat SD, lalu ada dana APBD dikhususkan untuk pendidikan. Dana Otonomi Khusus dikhususkan untuk pendidikan ada 30% dana. Semuanya ini sebetulnya bersumber dari pemrintah. Jadi sudah banyak dana yang masuk untuk bagaimana supaya ketertinggalana itu bisa diangkat melalui pendidikan.




Cuma yang menjadi kendala selama ini yang saya lihat, dana-dana yang masuk itu tumpang tindih, lalu ada kepentingan orang, disisi lain kemampuan SDM-nya untuk bagaimana dalam hal pemanfaatan bisa terserap dan kembali kepada tujuan utama dari sisi akses misalnya jarang orang pikirkan kesana. Karena kembali pada SDM lemah dan kebijakan-kebijakan juga tumpang-tindih. Ini yang membuat tidak jelas implementasi dana dari sisi keuangan. Lalu dari sisi kebijakan, sebetulnya Papua harus beda dari sisi kebijakan. Karena Papua punya cultur yang beda, letak geografis yang beda sehingga dari sisi kebijakan memang ada kekhususan disana. Nah ini tidak dilakukan, sehingga agak sulit kalau ingin bersaing dengan teman-teman lain, karena kita banyak terkendala yang akan kita hadapi dari dari berbagai sudut itu. 




Berapa jumlah penduduk angka buta huruf di Papua?




Data terakhir 230 ribu angka buta huruf  di Papua menurut  Direktorat Kesetaraan. Dan memang ada satu gerakan yang sedang dilakukan Direktotorat Kesetaraan  yang dalam hal ini oleh Ibu Doktor Ella, dia Direktur Kesetaraan. Dimana dia memang mengadakan rakor atau semacam pertemuan melibatkan semua Kepala-Kepala Dinas, agar bagaimana caranya mengatasi 230 ribu itu (red angka buta huruf). Nah itu menjadi persoalan, cuma yang sangat disayangkan adalah setelah kebijakan itu jalan, setelah masyarakat sudah bisa baca dan tulis, apakah setelah lima tahun kalau misalnya itu mereka tidak belajar, apakah itu efektif? Kalau menurut saya mereka kembali akan jadi buta huruf.




PT Freeport Indonesia Karyawannya banyak dari luar Papua. Semenatara orang Papua menempati job-job pinggiran. Apakah ini juga masalah soal pendidikan penyebab utamanya?




Kalau dari sisi pendidikan misalnya dalam hal bagaimana akomodasi karyawan. Tapi kalau berbicara PT Freeport, perusahaan swasta orientednya kepada saya berapa sih keuntungannya? Nah kalau bicara keuntungan dia butuh Sumber Daya Manusia. Jadi persoalannya adalah kalau Freeport mau merekrut tapi SDM kurang, masih buta huruf, nah memang itu yang tadi saya katakan bahwa perlu harus ada kebijakan didunia pendidikan. Kalau disana ada buta huruf paling banyak maka bagaimana dalam rangka perberdayaan baik di pemerintahan maupun swasta termasuk Freeport itu harus ada sinkronisasi program antara kebijakan-kebijakan pembebasan buta huruf dan skill yang memang dibutuhkan oleh perusahaan itu, sehingga misalnya Freeport itu tidak merasa ragu atau kaku terhadap SDM yang akan dikaryakan (red direkrut) itu.




Jadi kalau misalnya orang Papua yang ada pinggiran mau kerja di Freeport misalnya dibidang perbaikan listrik, walaupun dia buta huruf tapi ketika dia dilibatkan proses pembelajaran buta huruf ada kaitan teorinya dengan listrik, misalnya antisipasi dari bahaya-bahaya listrik, nah itu menjadi bahan pembelajaran ketika dia menjadi warga buta huruf. Sehingga ada sinkronisasi antara apa yang dia kerja dengan apa yang dia belajar ketika dia dapat dari pemberantasan buta huruf tadi. Nah ini yang nampaknya mungkin saya lihat kurang diperhatiakan selam ini. Jadi itu memang sebetulnya bukan salah Freeport juga, tapi hanya pendidikan itu memang tidak diorented ke masyarakat.




Pemerintah Propinsi Papua sejauh ini perhatiannya pada kemajuan pendidikan di Papua bagaimana?  




Semua pembangunan program kembali dari dana sebetulnya, sekarang pertanyaannya Papua banyak dana, dari Otsus, BOS, DAS dan APBD pusat. Lalu kita rasiokan dengan jumlah penduduk yang ada, tentu dana lebih banyak, tapi pertanyaannya kenapa dananya banyak, penduduknya sedikit tapi mayoritas penduduk buta huruf paling banyak, lalu mereka harus tertinggal disemua sektor karena pendidikan, padahal uang banyak. Itu berarti memang kesimpulannya adalah pemerintah Propinsi dalam hal ini memang tidak peduli dengan pendidikan. Karena salah satu bukti adalah buta huruf  tadi,  kalau misalnya kita mengkaji dari sisi guru, sarana prasarana, dari sisi bagaimana seorang anak kita ciptakan sebagai anak yang nantinya akan menjadi profesional itu tidak ada.




Apakah Anda Pemerintah Propinsi tidak punya program grend designe Papua kedepan misalnya mengutus anak-anak Papua belajar ke luar negeri seperti ke Australia, Eropa, Jepang dan Amerika?




Kalau dari sisi itu (arah kedepan grand designe Papua) dari Pak Bas (red Barnabas Suebu) dan Alex Hesegem saya lihat tidak ada planning sama sekali. Mereka tidak punya planning bahwa Papua ini dalam 50 tahun kedepan kita akan menghasilkan anak-anak Papua Asli yang profesional pada bidang-bidang tertentu. Misalnya 10 tahun kedepan anak-anak Papua ada pilot-pilot sekian orang, dokter sekian orang, lalu 10 tahun kedepan itu ada insinyur penerbang ada sekian orang itu sama sekali tidak ada planning model itu. Contoh kecil misalnya di Papua itu ada 270 suku, dari 270 suku itu misalnya kita menginnginkan setiap suku ada tenaga-tenaga profesional untuk membantu masyarakat pada hal-hal vital kebutuhan masyarkat seperti dokter, guru, perawat yang profesional, itu saja tidak ada program sama sekali.




Apalagi kalau kita bicara masalah dokter, pilot dan lainnya. Saya tidak melihat sebuah planning 20 tahun kedepan kita bangkit dari ketertinggalan tanpa menghilangkan sebuah penghormatan dari 270 suku yang ada itu tidak ada. Jadi mengangkat semua suku. Jadi contoh misalnya di Jayapura itu ada satu asrama menampung 270 suku setiap tahun. Ambil kader dari setiap suku ditampung disatu asrama.




Dan mereka itu dikaderkan menjadi guru misalnya itukan jelas targetnya atau jadi dokter misalnya. Jadi pendidikan pola asrama dengan sistem kaderisasi diambil dari sekian banyak suku yang ada di papua. Penyeleksian dilakukan tatkala mereka sudah di Sekolah Dasar (SD), SMP dan SMA. Nah sehingga anak-anak itu betul-betul nantinya menjadi dokter. Dan setelah selesai dari sekolah kedokteran 15 tahun kedepan setiap suku itu ada punya dokter dan dia Putera Asli.




Jadi ada target-target yang memang real. Nah itu yang saya lihat tidak ada dari sisi planning. Jadi nanti anak-anak Papua kedepan itu mereka seperti apa, kita tidak punya target jelas, berapa pilot yang nanti akan kita ciptakan, berapa guru dan dokter yang akan kita ciptakan. Nah ini kan salah satu hal konkrit yang harus jadi perhatian. Apalagi kalau kita bicara dari sisi akses pendidikan yang merata sehingga nanti akan muncul sekian orang sarjana itu sama sekali tidak ada planning selama ini.




Sebenarnya politik anggaran itu sebenarnya seperti apa sih, apakah masih kurang sehingga tidak ada perhatian Pemda Papua soal Pendidikan ini?




Kalau menurut saya itu sangat besar sekali dananya. Dan kalau pemerintah Propinsi dan Kabupaten berkomitmen bahwa masyarakat Papua ikut bersaing daerah lain atau negara lain. Kalau itu ada dengan dana yang ada, dalam 20 tahun kedepan kalau kita misalnya hitung-hitungan proses sirkulasi dari pada seorang anak sampai selesai sarjana misalnya 25 tahun kedepan, Papua tidak ada buta huruf, tidak ada yang tamatan hanya SD, jadi sudah semua sarjana sebetulnya.




Jadi seorang sarjana itukan 24 tahun, nah misalnya Otonomi Khusus mulai aktif sejak tahun 2004 sampai 2025. Jadi semua misalnya tahun ini dia punya gerakan wajar 6 tahun, jadi anak-anak usia sekolah tidak ada yang tidak sekolah, harus sekolah. Nah kalau misalnya saja semua sekolah atau mudah-mudahan saja 50% saja sekolah. 25 tahun kedepan semua sudah sekolah habis, sudah tidak ada buta huruf. Dan mereka itu kalau memang dibina dalam sebuah pola yang  bagus, 25 tahun kedepan semua bisa selesai sarjana sebetulnya kalau dari sisi dananya, cuma tidak ada pola yang dilakukan oleh pemerintah daerah Papua.




Apakah pola pendidikan asrama masih relevant untuk sekarang mengingat jumlah pengidap HIV/AIDS juga akibat pergaulan bebas cukup tinggi terutama usia produktif?




Untuk membangun Papua, pola asrama itu salah satu jalan terbaik untuk menciptakan generasi-generasi muda yang nantinya menjadi pemimpin-pemimpin di daerah bahkan sebetulnya mereka itu menjadi asset nasional bahkan internasional. Nah sekarang kalau bicara asrama sekarang pemerintah cukup serius melihat hal ini, bahkan setiap Kabupaten di Papua malah punya asrama sendiri disetiap kota study. Sekarang yang menjadi persoalan adalah..itu ujung-ujungnya karena proyek, mengejar proyek. Jadi asal jadi mereka tidak mempertimbangkan asrama itu nanti siapa yang mengelola. Nah dalam kenyataannya itu asrama-asrama yang dibangun oleh Pemda Kabupaten bahkan oleh Propinsi disetiap kota study yang ada, itu malah disitu itu tempat hiburan, tempat orang minum-minum.




Kalau pendidikan asrama itu dikembangkan di Papua, menurut saya itu begini. Di Papua itu ada 4 Yayasan yang cukup dikenal yaitu Yayasan Pendidikan dan Persekolahan Katholik (YPPK), Yayasan Pendidikan Kristen (YPK), Yayasan Pendidikan dan Persekolahan Persekutuan Gereja-gereja Kristen Injili di Papua (YPPGI), Yayasan Pendidikan Islam (YAPIS). Karena kalau kita bicara asrama maka lembaga kembali kepada lembaga mana yang akan menangani, seperti apa disiplin yang diterapkannya, seperti apa sarana prasarana lainnya.




Lalu bagaimana asrama itu kita jadikan sebagai sbuah proses pembelajaran, contohnya di Jayapura. Disana itu ada asrama Uncen, asrama-asrama setiap Kabupaten itu misalnya ditutup, lalu asrama-asrama itu kemudian dikembalikan ke Katolik, ke YPPK, YAPIS dan lain sebagaimana pola Belanda dulu. Nah disana itu ada disiplin tegas, semua biaya digratiskan karena kita mau membina anak-anak Papua yang berbobot dari sisi mental, intelek dll. Kalau mereka diluar, mereka biaya sendiri, karena tidak ada kegratisannya. Kalau dulu Belanda punya modal sendiri, jadi agak lebih baik. Tapi kalau sekarang pemerintah daerah dengan 5 yayasan ini mereka harus bekerja sama satu visi dan misi bagaimana memberdayakan masyarakat Papua menuju kemajuan melalui pola asrama ini.




Dengan Dan yang sangat besar untuk anggaran pendidikan oleh Pusat pengelolaan beasiswa oleh para Bupati-Bupati sendiri sebenarnya bagaimana, apakah berjalan baik apa tidak?




Bukan effektif jalannya, tapi menurut saya itu pola yang sangat memanjakan mahsiswa. Kembali ketadi, antara beasiswa, pola asrama, kalau itu dipadukan, jadi mahsiswa itu tidak dikasih beasiswa tapi tinggal diasrama biaya beasiswanya langsung dijadikan pendidikan gratis. Itu akan lebih baik karena ini lebih tepat di Papua menurut saya. Tapi asrama juga bertebaran dimana-mana, lalu mahsiswa juga menutut beasiswa  dll model-model itu. Kalau itu dibuang lalu dibuatlah satu pola misalnya tugas akhir dan lain-lain itu ditiadakan, lalu mahasiswanya itu ditampung didalam asrama, dan diasrama itu semua sudah disiapkan misalnya lab bahasa inggrisnya, lab computernya dll. Jadi semua itu gratis, siapa yang mau belajar disitulah dia dididik. Sebetulnya model itu yang paling tepat. Tidak perlu ada beasiswa tapi beasiswa itu dikelola dalam sebuah pola.




Tapi kalau diluar Papua ada pola lain yang harus digunakan. Tapi mereka yang keluar diluar Papua harus selepas SMA, dan mereka itu anak-anak yang punya prestasi, bakat, dan punya nilai bagus untuk melanjutkan diberbagai belahan lain dunia dan di Indonesia dan mereka itu seperti kontrak dinas, sesuai dengan kebutuhan daerah misalnya Kabupaten itu gurunya kurang, maka anak-anak daerah itu yang mampu, mereka itu dikontrak oleh Pemda setempat yang berprestasi diberi tugas belajar keluar dengan kerjasama dengan Universitas yang bagus, tapi dia kuliah ditanggung dan dikasih batas waktu. Kalau 5 tahun harus selesai berarti setelah belajar lima tahun harus kembali.








Katakanlah olehmu akan kebenaran walaupun akibatnya akan buruk

Tidak ada komentar: