Rabu, 16 Maret 2011
REKONTRUKSI MAJELIS RAKYAT PAPUA (MRP)
Oleh: Ismail Asso*
REFORMASI MRP
Mrp sebagai institusi kultural pure (asli) Papua harusnya dijauhkan atau menjauhkan diri dari agama. Pikiran ini berangkat dari refleksi pribadi tatkala memperhatikan sikap pasrah (vatalistik) dengan menyerahkan nasib pada Tuhan berlebihan yang rada mesianistik rakyat Papua. Misalnya impian utopis (yang berarti harapan kosong) bahwa Tuhan akan datang membebaskan Papua dari penjajahan atau ketidakadilan.
Agama-agama besar dunia yang dibawa datang dan diajarkan pada rakyat Papua membelenggu hati dan pikiran orang Papua. Melalui agama bahwa kita kita dikenalkan konsep Tuhan. Kini orang percaya Tuhan harus sabar menanti kebaikan hati Tuhan datang memerdekakan Papua sesungguhnya suatu sikap utopia (mimpi) belaka tanpa pernah terbukti benar-benar bisa terjadi.
Apapun agama dan siapapun penganutnya, kita semua umat beragama, harus sadar-sesadar-sadarnya, bahwa sama sekali bohong, Tuhan tidak akan dating bebaskan nasib manusia. Kaita sendirilah yang harus bangkit kembali menentukan nasib sendiri tanpa sikap pasrah memelas menyerahkan nasib pada Tuhan.
Pada umumnya semua agama memberikan impian kosong dan harapan-harapan semu bahkan harapan palsu bahwa Tuhan seakan datang membebaskan nasib rakyat Papua dari penjajahan dan penindasan yang dirasakannya sejak Papua diintegrasikan kedalam wilayah NKRI.
Hal ini sangat berbahaya mengingat agama Tuhan yang mulia itu diperkosa dalam bahasa dan lisan manusia menjadi tempat pelarian alasan kepasrahan atau kemalasan usaha kerja keras. Dalam kenyataannya orang papua, melalui agama banyak berharap secara berlebihan pada Tuhan. “Tuhan akan datang”, atau “ Tuhan bekerja”, membebaskan bangsa Papua dari nasib penjajahan. Tuhan bekerja dan akan datang membebaskan Papua. Agama memberi harapan seakan benar Tuhan datang membebaskan Papua.
Padahal sesungguhnya konsepsi Tuhan yang kita tahu, karena diberitahu, melalui agama itu, pada hakekatnya, justeru sebaliknya, membelenggu kebebasan dan pembebasan nasib rakyat Papua. Agama dan Tuhan dijadikan sarana pelarian atas ketidak mampuan orang Papua me-merdeka-kan diri sendiri, atas nasib penindasan- persis seperti dimaksudkan Karl Max.
Dalam batas-batas tertentu agama di Papua, bisa dicurigai, dalam posisi terlibat kolonisasi. Agama bukan saja alat legitimasi, tapi malah berperan mempersubur sikap pasrah manusia Papua. Sehingga penjajahan itu bukan saja berlarut-larut, tetapi menambah beban penajahan.
Rakyat Papua jika diamati secara seksama dari jarak sangat dekat sampai batas terlibat langsung didalam sikap beragama, kita tidak bisa menyangkal kenyataan, bahwa agama harus diduga sangat bertanggungjawab sebagai bagian dari penjajahan itu sendiri.
Truth Cliem
Semua agama mengajarkan pemeluknya bahwa diluar agama “kami” tidak ada keselamatan. Hampir semua agama besar dunia seperti islam, kristen dan yahudi mengajarkan dogma trush cliem seperti itu. Dogma, diluar agama “kami” salah, agama “kami” saja yang benar. Karena itu tidak boleh ada, jangan berkembang. Hanya agama “kami” saja yang boleh ada diluar agama kami harus dicegah agar jangan berkembang.
Agama mereka, diluar agama kami, agama yang salah. Maka kita harus meng-agamakan mereka dengan agama kita. Karena itu agama orang lain, agama diluar agama kita, pada dasarnya agama yang salah. Maka dalam batas-batas tertentu kita harus diwaspadai.
Demikian hampir semua ajaran dan watak agama yang mejadi kesadaran para penganutnya yang diajarkan oleh semua agama besar dunia kita semua tahu bahwa masing-masing agama mengajarkan pada pemeluknya hanya agama kami yang paling benar =, dilaur agama kita salah. Semua agama besar dunia ada truth cliem para penganutnya dan itu semua ada dan terjadi pada semua penganut agama satu kepada pemeluk agama diluar agama dia.
HAPUS MRP UNSUR AGAMA
MAJELIS RAKYAT PAPUA (MRP) adalah institusi REFRESENTASI cultural rakyat PRIBUMI 270 suku Papua. Maka kedepan MRP perlu recontruksi (dibenahi kembali) agar lembaga ini benar-benar dapat merefresentasikan cultural Rakyat Papua. Sehingga MRP tidak terkontaminasi dengan unsur asing yang bukan Papua sebagai Papua atau sebaliknya.
Misalnya perwakilan unsur agama yang ada saat ini menurut hemat saya tidak merefresentasikan MRP sebagai lembaga Asli Rakyat Papua. Sebab bagi orang Papua Agama adalah gejala baru dan bukan unsur pure (asli) Papua. Oleh sebab itu pameo bahwa Adat ada dulu baru agama dan pemerintah datang (amber) dalam kebudayaan Papua.
Jika saat ini ada unsur perwakilan agama maka itu bertentangan dengan MRP sendiri sebagai lembaga refresentasi kultural Rakyat Papua. Mengapa ? Karena agama bukan unsur Asli Papua. Sedangkan faktanya hampir 80% rakyat Papua digunung masih menghayati nilai-nilai lama sebagai nilai yang hidup hampir sama dengan agama besar dunia yang dibawa datang Para Missionaris dan Pedagang dari Timur Tengah/Bugis-Jawa Melayu. Karena itu selama ini MRP ada tiga unsur kelompok segment masyarakat harus benar-benar konsisten sebagai lembaga Adat Papua, bukan dicampur aduk antara nilai asing baru bukan Papua dan Papua Asli.
Karena itu menurut hemat saya unsur perempuan dan Adat sudah benar tapi unsur agama dalam MRP bertentangan dan salah kalau MRP sebagai lembaga Adat Papua. Mengingat Agama bukan made in Papua tapi sesuatu yang asing dan baru dalam gelaja pembangunan nasional yang berlangsung kini.
Sehingga kita semua membedakan mana unsur asli Papua dan bukan unsur asli Papua nantinya. Maka perwakilan Agama harus dihapus dan diganti dengan perwakilan unsur Pemuda. Sehingga MRP unsur-unsur asing dibuang dan unsur asli diperkokoh guna menjaga keaslian Papua.
Sesuai amanat UU Otsus Papua No 21 tentang pemerintahan sendiri dan Perimbangan Keuangan antara pusat dan daerah. Maka pembangunan dengan pendekatan pada keberpihakan pada penduduk Asli Papua mutlak perlu. Caranya adalah dengan memberikan ruang dan tempat seluas-luasnya pada pribumi Papua diberbagai lembaga pemerintahan maupun dalam bidang ekonomi.
Sehingga secara sistematis desakan dan suar-suara Otsus gagal, refrendum, ditingkatkan dengan tingkat partisipasi semua secara sistematis pula. Harus diingat bahwa proteksi politik dan ekonomi, sosial-budaya dan hukum pada penduduk asli harus menjadi prioritas utama semua pihak baik pemerintah pusat dan pemerintah daerah era Otsus saat ini. Jika tidak Otsus sama sekali tidak bermakna bagi penduduk Pribumi Papua.
Kebijakan pemerintah pusat memberikan Otsus bukan sesuatu yang asing dalam kebijakan pembangunan nasional dimanapun dunia dibanyak negara yang memiliki sejarah konflik internal kebangsaannya kebijakan seperti ini sesuatu yang biasa dan dilakukan. Untuk tidak jauh-ambil contoh kemana adalah Bogin Villa negeri jiran kita Papua New Guini (PNG).
Dan itu penting artinya bagi masyarakat Papua agar mereka membangun dirinya sendiri sesuai semangat dan amanat UU Otsus Papua. Sebab pengembalian Otsus oleh sebahagian masyarakat Papua kesejahtreaan adalah tolak ukurnya. Mengingat selama 11 tahun Otsus Papua berjalan Rakyat Papua tetap saja miskin dan terbelakang.
Oleh sebab itu sebagai bagian dari pembenahan semua sistem kebijakan dalam pembangunan Papua sesuai UU Otsus maka urusan pemerintahan dan pengelolaan sepenuhnya diserahkan pada Rakyat Papua sendiri tanpa intervensi oleh pusat adalah maha amat penting.
Mengapa? Sebab rakyat Papua sejauh ini merasa bahwa Otsus gagal karena gagal mensejahterakan penduduk Pribumi. Dalam banyak lapangan kerja misalnya BUMN dan juga pemrintahan Otsus masih ada gejala despotisme dan intervensi negara dan pemerintah sangat tinggi. Wajar jika akibatnya banyak pihak menilai Otsus gagal dan MRP pada bulan Juli lalu telah mengembalikannya.
Oleh sebab itu guna menimalisirt intervensi unsur asing dalam budaya dan Adat masyarakat Papua apalagi MRP adalah refresentasi cultural (adat-budaya) Papua maka yang harus duduk dan mewakili lembaga Adat-Budaya Papua harus yang benar-benar budaya dan Adat Asli Papua. Konsekuensinya maka unsur utusan MRP mana saja yang boleh dan berhak diwakilkan Rakyat Papua dari unsur asli bukan unsur asing dan baru dalam kebudayaan dan Adat Rakyat Papua.
Maka utusan wakil agama dalam tubuh MRP kedepan harus dihapus dan diganti dengan unsur lain atau unsur pemuda Papua agar MRP benar-benar warna budaya Papua Asli bukan sesuatu yang asing dan baru dalam budaya orang Papua dilembaga ini. Pemuda adalah sebagai unsur yang penting dalam utusannya diwakilkan dalam MRP kedepan sebagaimana unsur utusan perempuan yang berjalan selama ini walau bukan dianggap budaya Papua.
Unsur apa saja dari segmen lapisan masyarakat adat yang berhak dan diutus perwakilan dalam MRP kedepan sebagai sebagai lembaga refresebtasi cultural rakyat Papua ini berhak diwakilkan menjadi agenda para kaum cerdik cendekia Papua. Misalnya batasan Orang Pribumi Papua. Lalu batasan apa dan bagaimana atau siapa saja yang dimaksudkan dengan budaya asli Papua.
Karena itu penting diperhatikan disini adalah dibelakang alasan fundamental dari proses purefikasi MRP sebagai institusi cultural rakyat Papua adalah urgen disini. Bukan sesuatu yang asing dalam budaya asli Papua. Purifikasi menjadi kesadaran kita bersama bahwa ada pintu masuk unsur asing didalam lembaga keaslian papua adalah pintu masuk mengacaukan keaslian Adat-Budaya Papua penting diwaspadai bersama.
Unsur itu adalah perwakilan unsur agama. Karena itu kedepan perwakilan unsur agama dihapus dan diganti dengan unsur pemuda. Maka MRP kedepan benar-benar lembaga keterwakilan (refresentasi) culrural (Adat-Budaya) Papua. Dan langkah ini dianggap dan dimaknai sebagai langkah maju yang harus segera dilakukan untuk menjaga Papua unik dalam Indonesia dengan keontetikan Adat-Budayanya.
Inovasi MRP yang dimaksudkan disini adalah agar kedepan ada kemauan agar orang Papua sendiri sadar mana unsur asli dan asing agar dengan tahu dan sadar itu sebagai pintu masuk proses contruksi total unsur-unsur apa saja yang dianggap Papua dan bukan dianggap pure (asli) Papua untuk ditata ulang wajah MRP kedepan. Agar MRP benar-benar berwajah Asli Papua.
Innovasi (pembaharuan) MRP karena itu sangat penting mendesak sebagai bagian dari proses pureficate secara fundamental total harus dilakukan. Langkah-langkah revolusioner ini harus dilakukan oleh tidak saja anggota MRP baru tapi bersama-sama seluruh element komponent komunitas rakyat Papua 270 suku dan bahasa Papua.
USULAN KONKRIT
Utusan MRP unsur agama harus diganti dengan utusan unsur PEMUDA atau unsur lain. Demikian ini adalah sebagai bagian dari usaha merekontruksi dan innovasi institusi MRP sebagai refresentasi cultural Rakyat Pribumi Asli asal Papua. Sebab dalam pengertiannya budaya menyangkut bahasa, mata pencaharian, seni, kepercayaan dan keterampilan suatu bangsa.
Maka agama apapun agama yang baru datang dan berkembang dewasa ini di Papua adalah semuanya unsur asing dalam Adat-Budaya Papua. Maka kalau kita mau konsisten dengan institusi ini benar-benar sebagai refresentasi cultural orang Papua. Majelis Rakyat Papua (MRP) unsur AGAMA (Islam, Katolik dan Protestan) yang dijatah wakilnya duduk di MRP periode masa lalu sesungguhnya bukan unsur pure (asli) made in Papua.
Karena itu unsur wakil agama di MRP harus diganti dengan unsur PEMUDA atau lain. Agar MRP secara konsisten dan benar-benar sebagai refresentasi cultural Rakyat Papua. Mengingat agama pintu masuk unsur asing dalam adat-budaya Papua guna mengotori nilai-nilai keaslian Papua yang hakiki.
Jika unsur agama dibiarkan tetap ada dan masuk dalam perwakilan MRP maka implikasinya buruknya adalah UU PERDASUS MRP BABA III Pasal 4 ayat 1 poin (a). “Percaya Kepada Tuhan YangMaha Esa”, dan seterusnya sampai point d masuk sebagai bentuk intervensi negara pada lembaga ADAT yang tidak perlu harusnya.
Karena itu kedepan MRP wakil Agama harus ditiadakan atau diganti dengan unsur perwakilan PEMUDA Papua. Karena jika dibiarkan unsur agama tetap ada maka sesungguhnya kita sama saja tidak konsisten dengan apa yang kita sebut MRP sebagai institusi cultutal rakyat Pribumi Papua suku bangsa Melanesia. Dan ingat UU PERDASUS MRP tahun 2010 lalu dan masuknya pasal 4 ayat 1 point a, b, c dan d adalah salah satu bentuk intervensi negara dalam ADAT-BUDAYA Papua.
Demikian ini penting untuk perhatian semua agar ada perbaikan MRP kedepan. Catatan : Biarlah agama sesuatu yang suci tanpa dikotori manusia demi ambisi politik. Agama berdimensi transendental jika dibawa turun ke bumi maka hanya pada tataran moral etik bukan praktis politik yang akhirnya mengotori kesucian dan kebaikan agama bagi semua dan universal.
Ismail Asso, Ketua Umum Forum Komunikasi Muslim Pegunungan Tengah Papua (FKMPT) Papua. Bisa dihubungi melalui kontak HP : 981383418655. http://ismailasso.blogspot.com/
Katakanlah olehmu akan kebenaran walaupun akibatnya akan buruk
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar