Jumat, 01 April 2011

ISLAM DAN PLURALISME INKLUSIVE

By : Ismail Asso* Bebuka Untuk membahas judul ini, penting disampaikan dulu asumsi awal disini. Sehingga ada kesadaran bersama agar tidak muncul monopoli cliem tafsir. Asumsi bahwa : ‘Papua Karya Tuhan, Orang Papua Pewaris’. Maka ada pameo : ‘Adat ada baru Agama dan Pemerintah datang kemudian’. Penting dipahami maksud pameo ini bahwa dua kalimat belakang netral, tapi mutlak bagi orang Papua adalah kata pertama. Kecuali itu, selain akhlaq Islam dan fenomena paguyuban etnis, disini penulis ingin memberikan sedikit sumbangan pikiran teologi inclusive dalam pluralitas masyarakat Papua. Penulis ingin mencoba mengajak generasi muda Papua untuk berfikir lebih reflektif kalau bukan kontemplatif sebagai bagian dari intellectual excercise (latihan berpikir logis) atau latihan intelectual. Ajakan latihan pemikiran (intellectual exsercise) disini perspektif Islam. Dengan demikian diharapkan ada elaborasi lebih lanjut pengembangan teologi Islam inclusive sesuai konteks social masyarakat Papua dari berbagai perspektif. Mengingat setting Integrasi social masyarakat Papua kedepan penting dirancang sedemikian rupa dari sekarang. Maka planning begini menjadi tanggungjawab semua pihak. Tulisan sederhana ini adalah salah satu stimulasi awal memenuhi tujuan itu dan judul ini menunjukkan urgensi dimaksudkan. Akhirnya semua pihak diharap kiranya dapat bemberikan kontribusi pemikiran sama dari berbagai perspektif guna kebaikan hidup bersama Papua kedepan. Moralitas Kita Pejabat sebagai panutan masyarakat umum tidak bisa tidak, mereka harus menjadi teladan moralitas rakyat yang dipimpinnya. Karena itu para pemimpin Papua harus memiliki moral sedemikian rupa sehingga menjadi teladan bagi warga masyarakatnya. Teladan moral sangat penting bagi perbaikan mentalitas bangsa. Hal ini utamanya harus dimiliki pejabat public agar dapat diteladani rakyat yang dipimpinya. Untuk itu Papua kedepan calon pejabat public, moralitas syarat utama seorang pemimpin. Demikian sudah dianut banyak Negara maju. Misalnya Amerika Serikat akhlaq (moralitas) menjadi tolak ukur utama seorang kandidat Presiden disana. Sebaliknya betapa penting moral bagi Negari itu sampai-sampai Bill Clinton, suami Hillary Clinton, Menteri Luar Negeri, Barak Obama saat ini, pernah ada affair dengan seorang sekretarisnya bernama Monica Lewinsky meminta maaf secara terbuka. Betapapun kebebasan dijamin moral menjadi tolak ukur pejabat public Negara-negara maju dan berkembang. Negeri demokratis moralitas sebab utama pengunduran diri seorang pejabat Negara. Disana seorang pejabat public dijatuhkan lawan politik dan secara terhormat meletakkan jabatan. Amerika, Jepang, Korea dan Negara-negara Eropa moralitas menjadi syarat utama seorang kandidat pemimpin public dinegeri mereka. Bagaimana dengan Indonesia? Hal ini juga harusnya berlaku. Tapi kini dengan adanya tes-properte mulai ada perhatian kesana. Lebih khusus Papua hal ini kedepan harus lebih diperhatikan. Keutamaan moral para pejabat public Papua sebagai teladan bagaimana seharusnya ada (das sollen) dan adanya kenyataan (das sein) senantiasa didapati paradoxe. Malah penegakan moral (akhlaqul karimah) para pejabat sebagai bagian dari law enforcement dalam pembangunan masyarakat Papua sangat lemah. Padahal maju-mundur suatu bangsa lebih disebabkan tinggi-rendahnya moral suatu bangsa dan itu dimaksudkan diantaranya penegakan hukum, demokrasi dan HAM. Islam sebagai solusi Idealiatas nilai Islam dan kenyataan pluralitas social masyarakat Papua bukanlah dillema tapi rahmat. Bagi Muslim Papua nilai-nilai islam harus mewarnai tingkah laku (moralitas) masyarakat pemeluknya. Kenyataan seringkali moralitas ideal islam dan praktek masyarakat muslim, antara cita dan rasa, senantiasa tidak seiring sejalan. Bila umat islam sanggup menjadi teladan moralitas dalam pembangunan character bangsa. Maka trasnformasi nilai-nilai islam ideal bisa menjadi standar nilai bersama, minimal menjadi standar nilai internal umat atau nilai itu dapat mempengaruhi tingkah laku dalam diri umat islam sendiri. Sesungguhnya etika semua agama sama. Orientasinya transcendental, menuju ‘Kebaikan Rahmat Tuhan’ (Kasih Sayang Tuhan). Semua agama mengajarkan Kebaikan untuk mendapatkan Rahmat Tuhan. Bicara agama dasarnya tentang Kebaikan Rahmat Tuhan. Maka kebaikan inti dari pesan keagamaan dan itu ada dalam semua agama samawi (Yahudi, Kristen dan Islam). Karenanya usaha standarisasi nilai-nilai Islam bagi kemasalahatan bersama tidak lepas dari itu, terlepas diterima atau ditolak. Namun yang terpenting digarisbawahi disini adalah bahwa tidak ada jaminan otoritas penafsiran kebenaran mutlak subyektif orang islam. Sejak wafatnya Rasullah SAW, kecuali masa sahabat, Islam masa kini sesungguhnya hanya jejak. Islam persis seperti apa, kita belum pernah ikut mengalami islam zaman Nabi, berarti paham islam serta penafsiran yang kita tawarkan untuk dicoba diterapkan menjadi standar nilai itu didapati melalui catatan manusia sebatas ijtihad interpretasi belaka yang itu bisa salah bisa benar (bersifat ijtihadi). Hadits Nabi popular dikalangan ahli fuqoha menyebut : ‘Seorang hakim memutuskan perkara sulit tapi hasil ijtihadnya benar maka dapat dua pahala tapi kalau ijtihadnya salah maka tetap dapat pahala satu’. Untuk itu disini kita mencoba menampilkan interpretasi bebas nilai-nilai islam dari sumber utama Al-Qur’an dan Al-Hadits sebagai suatu ijtihad sesuai dimensi waktu dan tempat dalam konteks social masyarakat Papua. Karena itu orang boleh berasumsi bahwa memahami islam persis sepersis-persisnya zaman Rosulullah itu muspra. Namun melalui kitab suci dan sunnah Rasul sebagai guardance umat islam, kita sebenarnya sanggup membumikan nilai-nilai ideal islam yang bersifat transendetal itu dalam bumi Papua. Transformasi nilai-nilai Islam universal dijadikan sebagai islamic ethic sebagaimana protestan ethic berlaku di Amerika atau campuran etika semua agama. Hal ini tidak saja menjadi tanggungjawab intelektual muslim Papua tapi semua, tatkala kita mengalami dan memperhatikan dekadensi moral (akhlaqul karimah) umat Islam Papua masa kini dan untuk masa depan. Dalam menata kehidupan bersama kita senantiasa mengalami suatu proses. Proses baru dan lain tatakala kita berjumpa dengan berbagai kelompok agama. Maka standar nilai, kehidupan bersama dalam kemajemukan masyarakat Papua berasal dari berbagai sumbangan semua agama. Maka penataan akhlaqul karimah secara internal umat islam mau didahulukan lebih dulu disini, sebelum menata nilai bersama diluar diri umat Islam. Untuk itu revolusi penataan akhlaqul karimah internal umat Islam Papua secara frundamental sangat urgent harus didahulukan. Landasan teologis untuk ini sebagaimana Nabi Muhammad SAW sendiri pernah mengaku bahwa dirinya diutus sebagai Nabi dan Rasul oleh Allah SWT, semata-mata hanya untuk menyempurnakan akhlakulkarimah (kemuliaan budi/tingkah laku) umat manusia. Demikian bunyi Hadits Nabi : Innamaa buitstu li utammima makaarimal akhlaq. Artinya : “Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan akhlaq”. (Al-Hadits). Oleh sebab itu umat Islam Papua harus menunjukkan moralitas tinggi sebagaimana teladan itu diajarkan dan diteladankan (Sunnah) Nabi. Tatkala Nabi Muhammad SAW mau meninggal beliau berpesan pada umat islam untuk berpegang teguh pada dua perkara yakni Al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Apabila umat berpegang teguh pada dua perkara itu maka mereka tidak akan sesat dan sebaliknya. Keutamaan akhlaq Nabi Muhammad SAW bersumber dari Al-Qur’an. Karena itu umat Islam Papua harus kembali pada Al-Qur;an dan Sunnah Rasul agar merubah diri dari dalam sesuai nilai-nilai islam (akhlaqul karimah) bersumber Al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Imam Al-Hasan Al-Bashri RA berkata : “Seorang hamba akan senantiasa berada dalam kebaikan selama dia memiliki penasehat dalam dirinya sendiri. Dan muhasabah (intropeksi) diri merupakan penasehat yang paling utama”. (Fajri 91.4 FM). Lebih lanjut Sahabat Nabi berkata : ‘Bahasa perbuatan lebih terang dari bahasa kata-kata’. Perubahan akhlaq harus dimulai dari dalam diri sendiri tanpa harus kita sibuk khotbah sana-sini tapi kelakuan tetap korup dan abunawas. Jika perbaikan akhlaq dari dalam diri, pancaran sinarnya meneduhkan dan menerangi lingkungan gelap. Pribumisasi Nilai Islam Pribumisasi Islamic ethice harus diperhatikan disini kedepan, agar Islam diterima dan dipandang sebagai sesuatu yang tidak asing dibumi Papua. Islam dikenali karena keunggulan akhlaqul karimah. Itu membuat orang menjadi simpati dan menerima Islam. Islam tidak asing sehingga orang lain tidak “allergy” dengan islam. Kesan ada islam phobia kelompok lain dan dalam batas-batas tertentu ada asumsi islam “tercurigai” bagian integral dari kolonisasi itu sendiri. Solusi hilangkan kesan itu, Ormas islam Papua harus turun kebawah. Tidak elitis dan berorientasi kekuasaan pusat. Tapi secara proaktif terlibat dalam kerja-kerja social, pelanggaran HAM dan demokrasi. Islam harus tampil dalam wajah ramah penuh peduli lingkungan sekitar (rahmatan lil’alamin). Perubahan itu harus muncul dari dalam diri umat islam dan itu waktunya sekarang. Paradigma baru Ormas islam Papua menjadi penting disini dan perhatian utama kalangan intelektual muslim Papua. Kerja-kerja konkrit kemanusiaan apa yang dialami rakyat Papua harus ada kepedulian dari orang Islam Papua. Mungkin hal ini sudah dicoba lakukan element Majelis Muslim Papua, namun sesuatu yang baik sudah dicoba lakukan bernilai positif harus didukung semua Ormas Islam Papua. Sebab islam agama beradik kaka dengan agama Yahudi dan Kristen (agama anutan mayoritas rakyat Papua), maka punya potensi hidup rukun dengan ketiga agama besar ini (Yahudi, Kristen dan Islam). Ketiganya secara historis bersumber semit dari abramic relegion yang memiliki nilai kebenaran bersifat universal tanpa dibatasi sekat-sekat primordialisme. Islam dianggap asing orang agama lain. Karena orang tidak bisa membedakan manusia sebagai pribadi dan agama sesuatu yang bersifat nilai berdimensi transcendental. Persepsi kebobrokan moral manusia itu disamaratakan dengan agama Tuhan. Umat islam Papua populasinya kian hari kian bertambah besar seiring arus urbanisasi. Dan itu terjadi sesuai perkembangan waktu dan kebijakan politik pusat. Hal itu seringkali membawa implikasi lain dan baru bersifat positif negative sekaligus. Maka umat islam Papua dan keislaman menjadi ciri etika dalam kehidupan bersama Papua kedepan. Ciri itu lebih khusus, minimal umat islam harus mampu merubah akhlaq. Perubahan dari dalam diri umat sendiri tatkala berjumpa dengan lain dalam alam Papua. Barangkali jargon idealisme “Papua Zona Damai” yang dimaksudkan para tokoh Papua. (Menurut Sekjen MMP, Anum Siregar) gagasan ini bermula dimunculkan oleh Muhammad Thaha Al-Hamid, sesungguhnya sejalan dengan teologi semua agama samawi yang bersumber dari satu budaya semit Timur Tengah. Dewasa ini populasi umat Islam Papua secara keseluruhan cukup besar bila disatukan, maka kedepan sangat besar pula pengaruhnya. Muslim urban mendominasi sector perekonomian dan jasa, tersebar diperkotaan. seluruh Papua-Papua Barat. Jika potensi mereka disatukan, maka sangat potensial menjadi penentu kecenderungan kepemimpinan Papua kedepan. Potensi kaum urban itu (muhajirin, pendatang atau amber), jika dikelola dengan baik maka sangat menetukan pembentukan etika islam. Untuk itu disini penulis bukan mau menggurui tapi sekedar memberi inspirasi sambil menyadarkan Umat Islam Papua agar dapat terhindar dari anasir sektarianisme negative, sebagai sumber pemicu terpecahnya potensi Umat Islam Papua. Jahiliyah Modern Dalam perspektif Islam paguyuban etnis kedaerahan boleh jadi negative, karena itu gejala jahiliyyah modern. Berangkat dari beberapa kasus pengalaman mendahului kita, misalnya dalam pemilihan Wali Kota Jayapura sebelum ini Parpol Islam tidak sanggup menghindarkan diri dari kecenderungan intervensi dominasi hegemoni etnis. Maka yang terpenting disini dan saat ini untuk kedepan adalah Islam dan umat Islam Papua harus menjauhkan diri dari sentiment primordialisme sempit seperti itu. Karena hal seperti itu sesungguhnya telah dihapus dengan datangnya Islam. Islam hadir meleburkan semua aspek tatanan nilai sectarianisme primordial itu sebagai ciri masyarakat jahiliyyah pra Islam. Karena itu umat islam kedepan harus kembali pada nilai-nilai utama islam. Kehadiran Islam telah mereformasi semua aspek primordialisme jahiliyyah pra Islam seperti itu. Fenomena menjamurnya pembentukan ikatan paguyuban primordial etnis kedaerahan oleh sebahagian masyarakat urban Papua selain positif tapi dalam dirinya mengandung sisi negative sebagai gejala bahaya baru. Karena dalam dirinya menyimpan potensi konflik. Paguyuban bisa ada manfaatnya apabila tujuan bersama anggota yang ingin dicapai misalnya arisan bulanan, koperasi simpan pinjam sesama anggota etnik, permodalan usaha uang dari iuran wajib bulanan anggota dan sejenisnya. Tujuan baik lain agama dalam paguyuban adalah pengurusan mayit, pengajian bulanan dsb. Tapi tetap ada unsure syubhat-nya (kehati-hatiannya), karena secara aqidah islamiyyah madharatnya (berbahayanya) lebih besar daripada manfaatnya, bahkan aqidah murni islam gejala seperti itu sesungguhnya dikhawatirkan didalamnya ada benih-benih -ini penilaian subyektif penulis - kemusyrikan modern. Naudhubillahi mindzalik! Tapi sebaliknya umat Islam Papua gemar buat paguyuban, padahal itu sebagai ciri jahiliyyah modern, dan yang itu telah dihapus Nabi sebagai sebuah kenyataan terlepas dari alasan baik-buruk atau ada tujuan positif diharapkan disana. Namun jika itu ditunggangi tujuan politik pragmatis, maka gejala pengelompokan etnis (jahiliyyah modern) seperti itu sesungguhnya melemahkan dan merugikan umat Islam itu sendiri. Karena itu semua paguyuban etnik harus menjaga diri agar keinginan bersama menjadikan wilayah Papua sebagaimana diinginkan para tokoh agama menjadi “Zona Damai” tetap terpelihara. Mengingat pengalaman daerah lain tidak sedikit, bentrok antar etnik dan suku, sekedar menyebut contoh Madura dan Betawi di Kebayoran Lama Jakarta, Madura dan Dayak di Sambas Kalimantan Tengah, dan dalam skala kecil premanisme berbungkus etnik disejumlah kota besar Indonesia ditenggarai sebagai biang keladi dan pemicu kekacauan selalu meresahkan warga dikhawatirkan terjadi di Papua. Maka kita harus mewaspadai bersama akan hal itu. Apalagi dalam situasi politik transisi Papua dewasa ini gejala jahiliyah modern seperti itu senantiasa menyimpan potensi konflik kapan saja diinginkan atau bisa dijadikan sebagai milisi oleh penguasa dimungkinkan menunggangi kelompok etnik primordial seperti itu. Dari sudut pandang ilmu social (sociology) paguyuban etnik adalah gejala wajar dalam masyarakat majemuk yang menjunjung tinggi nilai demokrasi dan HAM. Paguyuban etnis sebagai akibat wajar adanya kemajemukan (pluralitas). Institusionalisasi organisasi kelompok masyarakat etnis biasanya untuk menunjukkan eksistensi kewargaan atau keikutsertaan kelompok masyarakat itu kepada kelompok etnis lain dalam kebersamaan warga kota dalam kehidupan bersama disuatu kawasan yang disebut masyarakat kota. Karena itu paguyuban kesukuan dibentuk didasari oleh kebutuhan seperti itu. Paguyuban kesukuan di Papua menunjukkan gejala adanya demokrasi dan kebutuhan pengakuan Hak Asasi Manusia (HAM) aneka etnis masyarakat kota agar saling mengakui eksistensi diri masing-masing kelompok etnis dalam menata kehidupan bersama untuk hidup berdampingan. Kata Nabi segala sesuatu tergantung dari niat (Al-Hadits). Tuhan Maha Mengetahui (Wallahu’alam). *Ismail Asso, Kelahiran Walesi Wamena, adalah Ketua Umum Forum Komunikasi Muslim Pegunungan Tengah (FKMPT) Papua, pernah belajar di Pesantren dan Kuliah di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Fakultas Syari’ah (Hukum Islam

Tidak ada komentar: