Senin, 27 Juli 2009

MENATA ULANG PAPUA

A. Integrasi dan Akar Masalah

Propinsi Papua dan Papua Barat diintegrasikan dengan Indonesia melalui PEPERA tahun 1962. Anggapan umum Rakyat Papua Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) rekayasa Soekarno dan John F Kennedy. Sebab pada masa perang dingin Presiden pertama RI itu condong ke Blok Timur. Amerika khawatir sikap politik Soekarno, padahal Amerika butuh dukungan dari negara-negara Asia dan Asia Tenggara khususnya Indonesia. Maka jaminannya Papua dikorbankan dikontrol Soekarno dengan syarat sewaktu-waktu Papua menentukan nasibnya sendiri kelak dikemudian hari. Dalam perjanjian New York Agreeman dinyatakan Papua dibawah kontrol Indonesia selama 20 tahun yang berarti habis pada tahun 1988 (Socrates Nyoman, New York Agreeman, 1998).

Namun proses waktu dan pergantian Presiden RI dari Soekarno kepada Soeharto persoalan Papua menjadi kabur, ditambah lagi dengan adanya kontrak karya PT Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc, izin penambangannya lebih dulu ditandatangani tahun 1967, sebelum status Papua resmi ditetapkan PBB bergabung dengan Indonesia tahun 1979. Sejak itu banyak kejadian protes orang Papua mempertanyakan akan keabsahan dirinya bergabung dengan Indonesia misalnya peristiwa exodus besar-besaran tahun 1982 (Jos Adi Djondro, 2001). Praktis sudah Rakyat Papua di era Presiden Soeharto selama 45 tahun integrasi (bagi rakyat Papua, aneksasi) dibungkam habis, mereka tidak boleh bicara lain selain persoalan Papua dianggap selesai final bagian tak terpisahkan dari NKRI. Demikian kebijakan politik Presiden RI kedua yang berkuasa selama 32 tahun itu.

Namun pasca kejatuhan Presiden Soeharto pada bulan Mei 1998 dan bergulirnya era reformasi seiring adanya jaminan kebebasan berbicara, maka rakyat Papua yang dibungkam habis, mulai buka mulut dan berbicara menuntut memisahkan diri dari Indonesia. Diawali dengan dialog 100 tokoh Papua dengan Presiden BJ. Habibi pada tanggl 26 Februari 1999 di Istana Negara Jakarta dan punjaknya Kongres Papua ke II, yang didanai 1 Milyar oleh Presiden Gus-Dur. Kongres diadakan di Jayapura, tgl. 29 Mei s/d 4 Juni 2000, dan dihadiri ribuan orang diantaranya 501 peserta yang mempunyai hak suara. Kongres meminta perhatian atas empat kenyataan de facto:

1. bahwa pada tahun 1961 Bangsa Papua sudah diberikan kedaulatan;

2. bahwa Bangsa Papua tidak terwakili sewaktu New York Agreement ditetapkan pada tahun 1962;

3. bahwa PEPERA tahun 1969 cacat hukum dan dilaksanakan disertai intimidasi dan penindasan;

4. bahwa ada sejarah pelanggaran HAM selama 38 tahun terakhir ini yang tidak pernah ditangani secara hukum. Karena itu tuntutan pengembalian kedaulatan dan keinginan rakyat Papua memisahkan diri dari NKRI sangat logis dan tidak bisa terbantahkan oleh siapapun.

Disinilah dasar persoalan Papua dan letak akar konflik berkepanjangan dan berketerusan sehingga melahirkan banyak korban di pihak rakyat Papua. Akhirnya solusi penyelesaian kasus Papua belum pernah sanggup ditemukan titik temunya oleh kedua bela pihak berkonflik. Banyak pemuka Papua merasa, dan itu akhir-akhir ini, ada upaya lain Indonesia (mungkin lebih tepat mereka maksudkan Militer Indonesia) melakukan suatu tindakan pembiaran dan sengaja terjadinya proses genosida (punahisasi) etnis Papua baik itu terselubung melalui HIV/AIDS, alcohol, KB, transmigmigrasi maupun secara terencana melalui Otsus Papua banyak mendatangkan militer organik dan non organik ke wilayah Papua. Selama ini selalu sehingga ada konfrontasi bersenjata antara rakyat yang mempersenjatai diri dengan senjata tradisional dengan senjata organic di pihak militer Indonesia.(Sendius Wonda, Tenggelamnya Ras Melanesia, 2008).

B. Otsus Papua dan Permasalahannya

Otsus Papua dituangkan dalam UU No 21/2001, merupakan hasil proses pembahasan panjang di DPR, dan disepakati pemerintah. Namun sejumlah kalangan tidak percaya Otsus Papua terutama kalangan intelektual Papua di universitas. TPN/OPM di rimba raya Papua terus berkonfrontasi dengan TNI/POLRI. TPN/OPM di rimba raya Papua dan dipengansingan, Otsus bukan solusi, bagi mereka, Papua Merdeka harga mati! sebagaimana NKRI, harga mati! bagi TNI/POLRI. Pada akhirnya selama ini kedua pihak seteru selalu mengganggu aktivitas pembangunan di Papua. Punjaknya terutama tahun 1998 dan tahun 2001 desakan hasrat melepaskan diri sangat tinggi dirasakan hingga UU kebijakan Otonomi Khusus No. 21 tahun 1999 dan UU Perimbangan Keuangan No. 25 di keluarkan Pemerintah Pusat. Tapi UU Otsus tidak menghentikan hasrat rakyat Papua melepaskan diri, malah akhir-akhir ini eskalasinya cukup tinggi terutama menjelang Pemilu tahun 2009.

Penting diingat bahwa TPN/OPM di rimba raya Papua dan Pejuang Papua Merdeka di pengasingan tidak pernah terlibat dalam penerimaan Otsus Papua oleh pemerintah Pusat. Sebelum ini yang terlibat menerima Otsus Papua hanya Presedium Dewan Papua (PDP) tapi mereka minta dengan syarat, pelurusan sejarah dan penegakan hukum, pembentukan komisi rekonsialisasi dan kebenaran dan terakhir tawaran dialog, yang kesemuanya itu tidak pernah ditaati Jakarta. Karena itu wajar PDP dan sejumlah kalangan intelektual Papua yang berada di universiatas tidak percaya lagi pada Otsus Papua. Mereka minta dialog dan itu harus dimediasi oleh pihak lain sebagai penengah. Keinginan dialog secara gentelmant selalu urung dipenuhi. Malah sebaliknya terlihat selama ini pemerintah sering berkompromi dengan TPN/OPM buatan militer Indonesia yang berada di kota, walau harus diakui bahwa kelompok pragmatis seperti itu juga punya potensi menjadi TPN/OPM “benaran”, jika keinginan berkuasa tidak diperoleh apalagi tidak dijatah jabatan oleh pusat.

Sejak Otsus diterima dengan syarat oleh Presedium Dewan Papua (PDP), maka banyak orang menduga bahwa persoalan Papua akan selesai dan separatisme bisa diredam. Tapi orang lupa bahwa seni dan budaya adalah menyangkut hak bereksistensi yang terkait langsung dengan harkat dan martabat kemanusiaan manusia. Untuk itu dalam UU Otsus No. 21. Tahun 1999 point C disebutkan : “bahwa penduduk asli di Provinsi Papua adalah salah satu rumpun dari ras Melanesia yang merupakan bagian dari suku-suku bangsa di Indonesia, yang memiliki keragaman kebudayaan, sejarah, adat istiadat, dan bahasa sendiri”. Kemudian UU Otsus Bab II tentang lambang-lamabang dalam pasal 2 ayat 2 menyebutkan bahwa : “Provinsi Papua dapat memiliki lambang daerah sebagai panji kebesaran dan simbol kultural bagi kemegahan jati diri orang Papua dalam bentuk bendera daerah dan lagu daerah yang tidak diposisikan sebagai simbol kedaulatan”. Tapi itu semua dikhianati Pemerintah Pusat dan hanya bisa dimengerti oleh Presiden Gus-Dur yang tidak di pahami Presiden Megawati Soekarno Putri, apalagi lebih tidak dimengerti oleh aparat militer Indonesia di Papua.

Dan memang ada yang benar, jadi baik, dari Gus-Dur dianggap salah oleh Mega sehingga kelihatan kurang cerdas dan itu berlanjut sampai masa pemerintahan SBY-JK terus dibiarkan, misalnya MRP di Pasung, simbol-simbol cultural yang di zaman Gus-Dur dibolehkan orang Papua menggunakannya dianggap subversip, hingga ada pasal-pasal karet terorisme, yang siap membungkam dengan alasan teroris kapan saja aparat militer Indonesia boleh menangkap, menyiksa, menembak dan bahkan memukul orang Papua sampai mati di penjara. Demikian ketua PDP, Dortheys Hiyo Eluay, mengalami nasib buruk martir ditangan aparat militer AL Maribuana 10 Hamadi Jayapura dan sopirnya sampai hari ini belum pernah diketahui, hilang tanpa jejak dan pesan kita semua tidak pernah tahu adalah warisan Presiden Megawati yang sangat buruk bagi orang Papua. Tapi hal demikian dibiarkan terjadi sepanjang pemerintahan SBY-JK, dan itu banyak dialami mahasiswa dan tokoh-tokoh HAM Papua. Demikian ini menyisakan luka mendalam bagi rakyat Papua.

Kebijakan pemerintah Indonesia terhadap rakyat Papua selain Gus-Dur, semuanya terkesan punya orientasi mengekang kebebasan ekspresi seni dan budaya orang Papua. Itu sekedar menyebut beberapa contoh inkonsistensi pemerintah pusat selama Otsus Papua berjalan. Seakan selama ini tidak ada kemauan baik politik pemerintah pusat secara konsisten menjalankan Otsus, misalnya UU Otsus BAB XII soal HAM pasal 46 yang didalamnya menyebut : “Dalam rangka pemantapan persatuan dan kesatuan bangsa di Provinsi Papua dibentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi”. Yang tugasnya adalah : (a). “Melakukan klarifikasi sejarah Papua untuk pemantapan persatuan dan kesatuan bangsa dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan (b). ”Merumuskan dan menetapkan langkah-langkah rekonsiliasi”. Selama 10 tahun Otsus Papua berjalan sama sekali tidak pernah dijalankan pemerintah Indonesia. Anehnya akhir-akhir dan itu sejak awal Otsus berjalan mulai terasa ada gejala baru dan lain bersamaan kebijakan Otsus berjalan ini ada dugaan kuat yang sering dikemukakan kalangan intelektual independent Papua misalnya Pendeta Dr. Socrates Sofyan Nyoman, Dr. Phil Erari dan Dr. Benny Giay soal issu adanya gejala genosida.

Mereka sering menyinggung bahwa ada upaya secara sistematis Indonesia melakukan proses genosida dan ecosida sekaligus yang sangat menyeramkan. Itu berarti perburuan pelenyapan etnis Melanesia secara ulang terjadi di abad 21 yang super modern ini secara bisu dilakukan dan dibiarkan terjadinya oleh pemerintah Indonesia (bedakan dengan bangsa Indonesia). Sama persis perburuan pembunuhan etnis Papua sebagaimana dilakukan orang-orang bekas narapidana yang didatangkan dari Inggris kini menguasai benua Australia. Suku Asli (Aborigin, ras Melanesia, masih serumpun dengan Papua) sangat menderita karena ini. Mereka kini hanya dijadikan sebagai museum hidup bagi wisatawan asing, karena proses pemusnahan etnis Suku Asli (Aborigin) Australia itu dilakukan orang-orang Anglo-Saxons yang datang bermigrasi dari Inggris beberapa abad lalu (negara Amerika Serikat saat ini dari proses yang sama).

Gejala demikian banyak dikatakan para pemuka inteletual Papua sedang dipraktekken oleh kebijakan negara yang tidak seimbang dengan perjanjian Otsus yang ditetapkannya sendiri oleh pemerintah Indonesia. Upaya demikian bukan kebijakan negara namun aparat pelaksana kebijakan di lapangan yang sudah kehilangan akal untuk meredam dan mengatasi hasrat keinginan rakyat Papua mau merdeka bisa saja terjadi dan dibiarkan keberlangsungannya dari upaya meredam habis rakyat Papua agar tidak lagi menuntut hak dan keadilan kedaulatannya. Jika demikian provokasinya para pemuka Papua selama ini, maka sudah barang tentu masalahnya bukan hanya menyangkut harga diri bangsa Papua untuk mempertahankan hak kedaulatannya saja akan tetapi juga ada hal lain yang lebih hakiki dan mendasar yakni hak bereksistensi diri didunia habitatnya.

C. Harapan

Harapan semua orang dengan Otsus Papua konflik bisa teratasi, minimal menimalisir potensi-potensi konflik separatisme sebagaimana penyelesaian konflik sama di Nagri Aceh Darussalam (NAD). Demikian juga dengan Papua bahwa dengan Otsus, maka konflik separatisme bisa diselesaikan. Untuk itu banyak uang dikucurkan oleh pusat kesana, ternyata meleset, malah sebaliknya, intentitas separatisme cukup tinggi dirasakan sepanjang pelaksanaan Pemilu tahun 2009 ini. Semua aksi-aksi sporadis dan terorganisir TPN/OPM menunjukkan separatisme disana tetap aktif dan tidak pernah bisa padam sekalipun banyak uang dikucurkan, terbukti Otsus Papua memang bukan solusi.

Hal ini kesalahan laporan para analis Papua dengan anggapan bahwa mentalitas orang Papua adalah mentalitas konsumerisme yang berarti cukup diberi banyak uang diam dan kenyang. Untuk itu- (tapi wajar mengingat konrtibusi Papua bagi negara, misalnya menyebut satu, PT Freeport) -pemerintah pusat mengucurkan banyak uang dan menganggap itu sudah cukup tanpa memikirkan solusi lain dan tidak secara serius atau tidak ada kemauan baik mentuntaskan konflik Papua secara konprehenshif sekaligus. Sebagai akibatnya bisa di tebak bahwa dana trilyunan yang dikucurkan pemerintah pusat tidak menghalangi perjuangan Rakyat Papua untuk berdaulat penuh, malah anasir-nasir separatisme tetap aktif muncul kembali disana.

Karena itu pada akhir tulisan ini akan direkomendasikan beberapa tawaran sebagai solusi bagi penyelesaian konflik sosial politik Papua dan Papua Barat secara menyeluruh. Namun demikian kita tidak boleh merasa puas bahwa itu solusi akhir dari semua permasalahan. Namun yang paling penting adalah bahwa ada usaha niatan kita mau mencoba memberikan solusi penyelesaian konflik secara serius dan tepat adalah bagian dari usaha kita secara terus menerus. Dan apa yang dilakukan disini adalah tidak lain dari bagian usaha tersebut. Karena itu tidak ada pretensi kita sedikitpun disini bahwa dengan beberapa rekomendasi ini kita akan sanggup menjawab semua permasalahan konflik Papua. Namun disini hanya ingin mengingatkan bahwa apa yang sudah dilakukan pemerintah pusat sebagai solusi jalan tengah penting tetap dipertahankan. Mengingat beberapa element rakyat Papua serta Pemerintah daerah sudah merasakan hasilnya. Adapun beberapa dasar pijakan pemerintah pusat untuk ditingkatkan adalah dengan adanya bukti berikut ini :


1. PDP sebagai wadah formal yang didalamnya terhimpun berbagai element masyarakat Papua yang bertujuan merdeka dengan susunan organisasi secara terstructur banyak terdapat elit tokoh intelektual Papua yang sebelumnya garis keras telah dilibatkan untuk menerima Otsus Papua walaupun mereka menerima dengan syarat sebagaimana dikemukakan diatas.

2. Banyaknya putra daerah asli Papua menduduki berbagai jabatan Otsus dan menikmati kucuran dana cukup besar dari pemerintah pusat selama beberapa tahun terakhir ini era Otsus berjalan

3. Sejak terpilih menjadi Presiden RI tahun 2004 silam, SBY datang ke Papua dalam program 100 hari dan melakukan hal-hal menadasar yang itu cukup memberi arti besar bagi kesejahteraan rakyat Papua. Yakni komitmen besar SBY terhadap penyelesaian kasus Papua misalnya :

a. Pengesahan Majelis Rakyat Papua (MRP) pada bulan Desember tahun 2004 dengan PP 54, yang selama tiga tahun terbengkalai, sebagai hadiah Natal kepada rakyat Papua.

b. Komitmen politik anggaran, SBY memperbesar alokasi anggaran pembangunan dari tahun 2004 sampai 2008 sekitar 28 trilyun kepada Propinsi Papua dan Papua Barat.

c. Tatkala rakyat Papua mendesak mengembalikan Otsus Papua dan mengkritik Otsus tidak efektif. Presiden SBY mengeluarkan kebijakan khusus tentang Percepatan Pembangunan Propinsi Papua dan Papua Barat (new deal for Papua), Inpres No. 5 tahun 2007 dengan prioritas pada lima deal, yakni :

1) peningkatan ketahanan pangan,
2) pengentasan kemiskinan,
3) peningkatan penyelenggaraan pendidikan yang merata,
4) peningkatan pelayanan kesehatan, peningkatan pembanguanan infrastructur dasar di wilayah-wilayah terpencil dan perbatasan.

Serta perlakuan khusus terhadap pengembangan SDM Papua (affirmatif action). Yakni pemberian peluang kepada rakyat Papua agar mendapatkan pendididikan secara luas dan berkarir dibirokrasi maupaun TNI dan POLRI. Kemudian tokoh-tokoh Papua diakomodasi didalam Kabinet, seperti Fredy Numberi (Menteri Kelautan RI). Mengangkat Duta Besar, seperti Michael Manufandu. Maka harapan kita kepada SBY agar tetap melanjutkan politik akomodisi bagi orang Papua, dan melanjutkan new deal for papua. Walaupun konflik dan anasir-anasir separaitisme belakangan ini tetap saja terjadi. Terlepas apakah pelaku terror dilakukan oleh rakyat Papua atau kelompok kriminal bersenjata dari pihak lain yang bermain disana. Namun kenyataannya bahwa program affirmatif action selama akhir pemerintahan SBY, Papua tetap bergejolak dengan tensi dan eskalasi cukup tinggi tahun 2009.

Maka dalam rangka usaha normalisasi keadaan dari konflik berketerusan serta mengeliminir potensi-potensi konflik baru dan separatisme TPN/OPM di wilayah Papua dan Papua Barat. Maka pemerintahan SBY-BUDIONO yang terpilih secara jujur, adil, dan demokratis perlu mengambil langkah-langkah penting dalam penysusunan Kabinet 2009-2014 kedepan ini. Terutama hal ini terkait dengan usaha integrasi Papua kedalam NKRI secara menyeluruh. Untuk itu langkah-langkah kedepan yang harus dilakukan kabinet pemerintahan SBY-BUDIONO adalah mengakomodasi beberapa permasalahan mendasar yang nyata ada dalam era Otonomi Khusus Papua sebagai berilkut :

1. Harus dibentuk sebuah lembaga Kementerian Khusus Urusan Papua dan Papua Barat, guna membantu pemerintah daerah Propinsi Papua dan Papua Barat sehingga proses percepatan pembangunan Papua dan Papua Barat dalam kerangka NKRI berjalan baik. Meningingat dana-dana Otsus yang cukup besar dikucurkan pemerintah Pusat selama Otsus Papua berjalan belum mencapai sasaran secara optimal. Sehingga dengan adanya Lembaga Kementerian Urusan Khusus Papua dan Papua Barat diharapkan dapat membina, mengontrol, mengawasi dan membantu Pemerintah Daerah agar Otonomi Khusus benar-benar mencapai sasaran diseluruh pelosok Papua dan Papua Barat. Mengingat UU Otonomi Khusus sebelumnya tanpa mempersiapkan orang-orang Papua untuk melaksanakan yang pada akhirnya banyak kalangan menilai bahwa Otsus telah gagal.

2. atau Membentuk Badan khusus urusan Papua dan Papua Barat dibawah pengawasan presiden langsung yang tujuannya sama yakni membantu dan mengawasi agar proses pelaksanaan Otsus sesuai target dan mencapai hasil sesuai UU Otsus Papua dan Papua Barat.

3. Mengangkat putra-putri terbaik Papua sebagai Duta Besar terutama di wilayah Fasifik yang sementara ini lebih dikuasai dan didominasi kelompok Pro Merdeka.

4. Mendorong Pemerintah daerah serta lebih banyak melibatkan kelompok masyakat diluar pemerintahan terutama LSM-LSM yang selama ini bersuara sumbang agar masuk dalam sturktur lembaga yang akan dibentuk oleh presiden yakni Kementerian Khusus Urusan Papua dan Papua Barat. Mengingat Otsus belum sepenuhnya mengakomodir semua aktivis pro Merdeka yang berdomisili di Ibukota dapat terakomodasi dibawah lembaga ini.

5. Melaksanakan Otonomi secara konsisten dengan terus memperhatikan proses penegakan hukum atas pelanggaran HAM di Papua.
6. Untuk itu UU Otsus BAB XII tentang Pasal 46 tentang perlunya pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi segera dilaksanakan bersama Majelis Rakyat Papua MRP, guna merehabilitasi korban-korban pelanggaran HAM selama ini..
7. Mendorong MRP agar segera membuat aturan-aturan teknis pelaksnaan Peraturana Asli Propinsi (PERDASI) dan Peraturan Asli Khusus Daerah (PERDASUS) Papua segera dibuat penyusunan aturannya.

8. Menarik seluruh aparat kemanan TNI/POLRI dari seluruh wilayah Papua Papua dan Papua Barat, agar impian Papua Zona Damai benar-benar terwujud sebagaimana hal sama dilaksanakan di Aceh.

9. Mengangkat beberapa Putra terbaik menjadi menteri dalam kabinet SBY-BUDIONO tahun 2009-2014 mendatang

10. Melakukan dialog terbatas dengan mengundang kelompok TPN/OPM dan pentolan OPM yang berada di luar negeri di salah satu negara tetangga ASEAN.

Tujuannnya adalah guna terciptanya suasana berkedamaianan, berkeadilan, berkesejahteraan dan bermartabat merupakan suatu keharusan dilakukan oleh Pemerintahan Pusat yakni dalam penyusunan Kabinet SBY-BUDIONO mendatang. Serta memasuki tahapan pembangunan Papua Baru. Wujud Papua baru adalah dengan prorgram affirmatif selama ini tetap dipertahankan tapi dengan meningkatkan pelibatan kalangan lebih luas secara terarah dan terprogram. Untuk itu maka kedepan perlu mengakomodasi generasi muda Papua saat ini sebagai canel-canel baru demi terwujudnya stabilitas keamanan nasional secara menyeluruh di Papua dan Papua Barat sehingga tercipta suasana aman, nyaman, damai dan sejehtera.

Papua baru yang dimaksud adalah sebuah bangunan kebangsaan dan berkenegaraan yang sesuai dengan amanah dan cita-cita kita semua. Mengingat kemerdekaan adalah sebuah pilihan untuk membawa rakyat Papua keluar dari krisis kedamaian karena terbukti pelaksanaan Otsus selama ini makin kehilangan arah dan tujuannya. Bahkan selama 10 tahun terakhir kelangsungan Otsus secara mencolok telah dimanfaatkan oleh segelintir elit penguasa daerah dengan mengorbankan hak-hak rakyat banyak. Estafet kepemimpinan Papua harus dihasilkan melalui kebijakan khusus dalam kurun waktu lima tahun kedepan, karena generasi tua terbukti terjebak dalam distorsi dan problematika kehidupan berbangsa dan bernegara secara serius.

Keberadaan kepemimpinan Papua yang dihasilkan selama ini dirasakan belum memberikan perubahan secara substansial dan mendasar dikalangan rakyat Papua. Kebuntuan ini suka tidak suka peran dan eksistensi generasi muda Papua wajib tampil ke depan guna membela kepentingan rakyat Papua secara menyeluruh cerdas dan rovolusioner. Sebagai sebuah Propinsi yang luas dengan kekayaan alam yang besar maka Papua membutuhkan kepemimpinan baru dari generasi muda mendorong percepatan perubahan guna menyongsong peradaban baru. Agenda Papua tahun 2009-2014 ini dan kedepan harus dikritisi oleh berbagai kalangan. Otsus Papua yang menyita puluhan trilyun uang dinilai mubazir dan berpotensi gagal tanpa membawa kemajuan apa-apa selama 10 tahun (1999-2009) terakhir ini. Selebihnya Otsus Papua hanya menjadi sarana legitimasi bagi kepentingan status quo segelintir elit daerah.


"Katakanlah kebenaran walaupun pahit"

Tidak ada komentar: