Kapitalisme, imprealisme, dan neo-liberalisme harus dimengerti baik dan benar oleh anak-anak muda aktivis Papua agar tidak salah kaprah. Saat ini issu yang relevan bagi gerakan perjuangan Papua merdeka adalah Revolusi dan Nasionalisme Papua (tapi bukan dalam NKRI)।
Kalau WALHI bicara soal itu memang bagi mereka itu relevan, sebab Walhi bagian tak terpisahkan dari NKRI, dan memang mereka sudah merdeka dan diakui sebagai sebuah Negara berdaulat dari penjajahan Belanda। Itu berarti bagi mereka revolusi perjuangan membebaskan diri dari penjajahan (dulu oleh Belanda) sudah tidak ada masalah lagi, karena WALHI yang ada dalam Indonesia adalah negara yang sudah berdaulat।
Untuk itu bagi mereka issu-issu kapitalisme, imprealisme dan neo-liberalisme sangat amat relevant dan perlu. Agar mereka dan rakyat Indonesia (yang mengakui dirnya sebagai bagian dari NKRI dari Sabang sampai Merauke) harus waspada dari unsur neo-liberalisme, kapitalisme dan neo-imprealisme. Mereka berusaha (berjuang) agar jangan ada penjajahan dalam bentuk ideologi lain dan baru terjadi pada bangsa yang sudah mereka tanggal 18 Agustus tahun 1945 itu. Karena itu bagi mereka agendanya adalah hanya membersihkan anasir-anasir (potensi) penjajahan lewat ekonomi dan pebjajahan bentuk baru lain.
Tapi apakah Papua relevant dengan wacana mereka? Dan wacana mereka perlukah diimport ke Papua agar dianut oleh kita, orang Papua? Kalau begitu bukankah itu bagian dari imprealisme baru, justeru mau dilakukan disini terjadi lagi, maling teriak maling, masuk dalam mereka mau mengerti wacana mereka tapi salah kastau pada dirinya sendiri karena essensinya tidak ditangkap untuk dimengerti baik-baik untuk disaring, mana yang manfaat dan tidak bermanfaat ilmu mereka bagi masyarakat saya Papua। Salahnya tapi buang ucapan mereka dan lempar gagasan mereka kepasaran Papua sesungguhnya kita tidak bertanggungjawab terhadap diri sendiri.
Apapun ilmu pengetahuan dan tekhnik (science dan tenology) yang kita serap darimanapun asalnya wajib disaring, kemudian dikontekstualisasikan dengan kebutuhan kita dan kenyataan di lapangan dalam hal ini kenyataan keadaan masyarakat Papua, apakah mereka menerima dirinya bagian dari NKRI atau bukan itu yang penting। Kapaitalisme ada hubungannya dengan PT Freeport atau neo liberalisme Indonesia lain pada rakyat Papua yang sedang bergelut membebaskan diri dari belenggu penjajahan dirinya oleh darinya (NKRI).
Revolusi dengan menutup PT Freeport dikukan Saudara Arki dan teman-teman Walhi membantunya setuju, tidak sepenuhnya Walhi mengerti keinginan Arki kalau Papua mau berdaulat penuh seperti punya Walhinya indonesia yang bernama NKRI. Jadi issu-issu seperti itu bukan tidak perlu tapi tidak relevant konteks Papua membebasakan diri merdeka. Apakah wacana dan kontruksi issu kita cocok dengan mereka disana? Saya kira pertanyaan ini yang harus dijawab dan harus dimengerti untuk kalangan muda Papua utamanya para aktivisnya agar membantu mencari solusinya.
Kita bukan mau mewaspadai unsur-unsur itu yang diimport pada kita oleh Saudara Arki dari WALHI pada kita yang sedang berjuang dan harus berjuang mau membebasakan diri dari penjajahan NKRI dan menjadi negara merdeka (berdaulat) agar diakui Internasional di dewan PBB. Tapi masalah pokoknya adalah apakah relevan untuk Papua dengan wacana Neo-kolonialisme, imprealisme dan neo-liberalisme dalam keadaan belum merdeka?
Kalau saya menganggap wacana LSM semacam PBHI, WALHI, YLBHI dll dalam konteks NKRI yang telah merdeka dari penjajahan Belanda, absurd bagi Papua yang berjuang membebaskan diri dari belenggu kolonialisme NKRI itu sendiri. Soal ancaman imperealisme, neoliberralisme dan neo-kolonialisme? Tidak relevant bagi Papua untuk saat ini. Ya belum, jadi tidaklah relevant untuk Papua yang berjuang untuk merdeka berdaulat penuh dari penjajahan (kolonialisme) Indonesia (NKRI).
Karena itu baik dan relevan bagi LSM-LSM itu mengangkat issu-issu seperti itu. Tapi anak-anak Papua janganlah tenggelam dalam wacana seperti itu. Jelas tidak bijak mengajak kita lain yang berjuang merdeka dari penjajah, anak-anak muda lain membuang energi percuma dengan perhatian dikerahkan untuk wacana mereka (LSM Indonesia). Kesan akhirnya kita tidak cerdas sehingga tenggelam dalam wacana mereka.
Wacana seperti itu untuk Papua akhirnya tidak kontekstual. Kesan akhirnya anak-anak Papua yang masuk dalam LSM seperti itu kalau belum siap kapasitas daya analsis dan rendah daya analisisnya maka secara ambiguisitas mau me-rekontekstualisasikan wacana tidak relevant mereka (LSM-LSM itu) pada kompleksitas Papua yang punya karakter issu sendiri.
Issu sentral Papua berjuang merdeka, berdaulat, butuh pengakuan internasional melalui pengesahan oleh PBB. Karena itu pentingnya harusnya Revolusi dan Nasionalisme Papua. Kalau begitu relevankah issu kapitalisme dan neokolonialisme bagi Papua? Tidak, sekali lagi tidak, tidak ada dasarnya kita bicara disini. Papua yang dibutuhkan oleh anak-anak muda Papua adalah Revolusi dan Nasionalisme Papua, itu saja. Lain dari itu bukan tidak tapi belum.
Istilah-istilah seperi bahaya westernisme, neo-liberalisme, kapitalisme dan istilah lain sejenisnya adalah kata-kata yang sering diungkap diawal kemerdekaan Indonesia oleh Soekarno. Pasalnya kemerdekaan yang sudah diraih kembali bisa dijajah lagi oleh dunia Barat dengan berbagai idiom melalui ekonomi. Anehnya sebahagian orang -dan itu anak-anak Papua lagi ada didalam -utamanya LSM dan pencinta lingkungan biasanya menggunakan issu-issu itu tapi bodohnya anak-anak kita (anak-anak Papua) tenggelam larut didalamnya. Kalau sebatas belajar boleh tapi dijadikan jargon dalam perjuangan orang Papua yang berjuang mau merdeka jadinya salah kaprah bukan?
Kalau WALHI bicara soal itu memang bagi mereka itu relevan, sebab Walhi bagian tak terpisahkan dari NKRI, dan memang mereka sudah merdeka dan diakui sebagai sebuah Negara berdaulat dari penjajahan Belanda। Itu berarti bagi mereka revolusi perjuangan membebaskan diri dari penjajahan (dulu oleh Belanda) sudah tidak ada masalah lagi, karena WALHI yang ada dalam Indonesia adalah negara yang sudah berdaulat।
Untuk itu bagi mereka issu-issu kapitalisme, imprealisme dan neo-liberalisme sangat amat relevant dan perlu. Agar mereka dan rakyat Indonesia (yang mengakui dirnya sebagai bagian dari NKRI dari Sabang sampai Merauke) harus waspada dari unsur neo-liberalisme, kapitalisme dan neo-imprealisme. Mereka berusaha (berjuang) agar jangan ada penjajahan dalam bentuk ideologi lain dan baru terjadi pada bangsa yang sudah mereka tanggal 18 Agustus tahun 1945 itu. Karena itu bagi mereka agendanya adalah hanya membersihkan anasir-anasir (potensi) penjajahan lewat ekonomi dan pebjajahan bentuk baru lain.
Tapi apakah Papua relevant dengan wacana mereka? Dan wacana mereka perlukah diimport ke Papua agar dianut oleh kita, orang Papua? Kalau begitu bukankah itu bagian dari imprealisme baru, justeru mau dilakukan disini terjadi lagi, maling teriak maling, masuk dalam mereka mau mengerti wacana mereka tapi salah kastau pada dirinya sendiri karena essensinya tidak ditangkap untuk dimengerti baik-baik untuk disaring, mana yang manfaat dan tidak bermanfaat ilmu mereka bagi masyarakat saya Papua। Salahnya tapi buang ucapan mereka dan lempar gagasan mereka kepasaran Papua sesungguhnya kita tidak bertanggungjawab terhadap diri sendiri.
Apapun ilmu pengetahuan dan tekhnik (science dan tenology) yang kita serap darimanapun asalnya wajib disaring, kemudian dikontekstualisasikan dengan kebutuhan kita dan kenyataan di lapangan dalam hal ini kenyataan keadaan masyarakat Papua, apakah mereka menerima dirinya bagian dari NKRI atau bukan itu yang penting। Kapaitalisme ada hubungannya dengan PT Freeport atau neo liberalisme Indonesia lain pada rakyat Papua yang sedang bergelut membebaskan diri dari belenggu penjajahan dirinya oleh darinya (NKRI).
Revolusi dengan menutup PT Freeport dikukan Saudara Arki dan teman-teman Walhi membantunya setuju, tidak sepenuhnya Walhi mengerti keinginan Arki kalau Papua mau berdaulat penuh seperti punya Walhinya indonesia yang bernama NKRI. Jadi issu-issu seperti itu bukan tidak perlu tapi tidak relevant konteks Papua membebasakan diri merdeka. Apakah wacana dan kontruksi issu kita cocok dengan mereka disana? Saya kira pertanyaan ini yang harus dijawab dan harus dimengerti untuk kalangan muda Papua utamanya para aktivisnya agar membantu mencari solusinya.
Kita bukan mau mewaspadai unsur-unsur itu yang diimport pada kita oleh Saudara Arki dari WALHI pada kita yang sedang berjuang dan harus berjuang mau membebasakan diri dari penjajahan NKRI dan menjadi negara merdeka (berdaulat) agar diakui Internasional di dewan PBB. Tapi masalah pokoknya adalah apakah relevan untuk Papua dengan wacana Neo-kolonialisme, imprealisme dan neo-liberalisme dalam keadaan belum merdeka?
Kalau saya menganggap wacana LSM semacam PBHI, WALHI, YLBHI dll dalam konteks NKRI yang telah merdeka dari penjajahan Belanda, absurd bagi Papua yang berjuang membebaskan diri dari belenggu kolonialisme NKRI itu sendiri. Soal ancaman imperealisme, neoliberralisme dan neo-kolonialisme? Tidak relevant bagi Papua untuk saat ini. Ya belum, jadi tidaklah relevant untuk Papua yang berjuang untuk merdeka berdaulat penuh dari penjajahan (kolonialisme) Indonesia (NKRI).
Karena itu baik dan relevan bagi LSM-LSM itu mengangkat issu-issu seperti itu. Tapi anak-anak Papua janganlah tenggelam dalam wacana seperti itu. Jelas tidak bijak mengajak kita lain yang berjuang merdeka dari penjajah, anak-anak muda lain membuang energi percuma dengan perhatian dikerahkan untuk wacana mereka (LSM Indonesia). Kesan akhirnya kita tidak cerdas sehingga tenggelam dalam wacana mereka.
Wacana seperti itu untuk Papua akhirnya tidak kontekstual. Kesan akhirnya anak-anak Papua yang masuk dalam LSM seperti itu kalau belum siap kapasitas daya analsis dan rendah daya analisisnya maka secara ambiguisitas mau me-rekontekstualisasikan wacana tidak relevant mereka (LSM-LSM itu) pada kompleksitas Papua yang punya karakter issu sendiri.
Issu sentral Papua berjuang merdeka, berdaulat, butuh pengakuan internasional melalui pengesahan oleh PBB. Karena itu pentingnya harusnya Revolusi dan Nasionalisme Papua. Kalau begitu relevankah issu kapitalisme dan neokolonialisme bagi Papua? Tidak, sekali lagi tidak, tidak ada dasarnya kita bicara disini. Papua yang dibutuhkan oleh anak-anak muda Papua adalah Revolusi dan Nasionalisme Papua, itu saja. Lain dari itu bukan tidak tapi belum.
Istilah-istilah seperi bahaya westernisme, neo-liberalisme, kapitalisme dan istilah lain sejenisnya adalah kata-kata yang sering diungkap diawal kemerdekaan Indonesia oleh Soekarno. Pasalnya kemerdekaan yang sudah diraih kembali bisa dijajah lagi oleh dunia Barat dengan berbagai idiom melalui ekonomi. Anehnya sebahagian orang -dan itu anak-anak Papua lagi ada didalam -utamanya LSM dan pencinta lingkungan biasanya menggunakan issu-issu itu tapi bodohnya anak-anak kita (anak-anak Papua) tenggelam larut didalamnya. Kalau sebatas belajar boleh tapi dijadikan jargon dalam perjuangan orang Papua yang berjuang mau merdeka jadinya salah kaprah bukan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar